Update Terbaru Preman Kepung dan Acak-acak Satu Negara
Jakarta, CNBC Indonesia - Komandan misi keamanan yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Haiti dan diberi mandat untuk memerangi geng-geng bersenjata yang kuat di negara itu, pada hari Kamis meminta lebih banyak negara untuk memberikan dukungan. Ini tepat satu tahun sejak pasukan pertama dikerahkan.
Pengerahan pertama polisi dari Kenya, yang memimpin misi tersebut, tiba Juni lalu, lebih dari satu setengah tahun setelah pemerintah Haiti pertama kali meminta dukungan mendesak.
"Sebagai model baru, yang didanai oleh mitra sukarela, misi tersebut menghadapi tantangan, termasuk pendanaan, personel, dan logistik, yang sedang ditangani untuk memungkinkan misi tersebut mencapai tujuannya sesuai jadwal," kata Godfrey Otunge, komandan misi Dukungan Keamanan Multinasional (MSS) di sebuah acara di Port-au-Prince, dikutip dari Reuters, Sabtu (28/6/2025).
Sementara PBB menargetkan misi tersebut, yang dikirim untuk membantu Kepolisian Nasional Haiti, untuk mencapai sekitar 2.500 tentara, saat ini kurang dari setengahnya telah dikerahkan. Lebih dari 3.000 personel dijanjikan dalam komitmen awal.
Dalam sebuah catatan yang dikirim ke Dewan Keamanan PBB minggu lalu, Presiden Kenya William Ruto mengatakan 991 tentara saat ini dikerahkan, sebagian besar warga Kenya tetapi juga 150 warga Guatemala, 78 warga Salvador, 23 warga Jamaika, enam warga Bahama, dan dua warga Belize.
Dia mengatakan bahwa banyak yang bersiaga karena kontrak yang ada untuk dukungan logistik tidak dapat menyediakannya.
"MSS juga beroperasi di bawah kemampuan yang dibutuhkan dalam hal peralatan dan dukungan operasional yang diperlukan untuk melaksanakan misi secara efektif," tambah Ruto.
Ia menambahkan, tingkat peralatan berada di bawah 30% dari kemampuan yang direncanakan.
Meskipun kekurangan sumber daya, Otunge mengatakan pada hari Kamis bahwa misi tersebut telah berhasil membangun dua pangkalan strategis utama di departemen Artibonite, area di luar ibu kota yang paling parah dilanda kekerasan.
Para pemimpin Haiti telah berulang kali menyerukan agar misi sukarela tersebut diubah menjadi misi penjaga perdamaian PBB formal untuk menopang sumber daya. Namun, upaya tersebut terhenti di Dewan Keamanan setelah mendapat tentangan dari Rusia dan Tiongkok.
Adapun kekerasan geng di Haiti telah menyebabkan sekitar 1,3 juta orang mengungsi dari rumah mereka, memicu kelaparan dan ketidakamanan, sementara rumah sakit telah tutup, dan sebagian besar perekonomian, sistem peradilan, dan pemerintahan tetap lumpuh.
Sekitar 580.000 orang mengungsi sebelum pengerahan pertama.
Negara Dikepung dan Diacak-acak Preman
Melansir laporan The Economist, diketahui koalisi geng terbesar di Haiti, Viv Ansanm (yang artinya 'Hidup Bersama'), awal tahun ini telah mengambil alih lebih dari 85% wilayah Port-au-Prince, ibu kota negara. Di Port-au-Prince, setiap hari terjadi baku tembak, di mana polisi dan warga sipil berhadapan dengan koalisi geng Viv Ansanm.
koalisi geng terbesar di Haiti, Viv Ansanm (yang artinya 'Hidup Bersama'), telah mengambil alih lebih dari 85% wilayah Port-au-Prince, ibu kota negara. Di Port-au-Prince, setiap hari terjadi baku tembak, di mana polisi dan warga sipil berhadapan dengan koalisi geng Viv Ansanm.
Warga sendiri tak bisa kabur lantaran bandara internasional telah ditutup. Satu-satunya jalan masuk atau keluar adalah dengan helikopter atau dengan tongkang yang menyusuri pantai untuk menghindari wilayah geng di selatan.
"Ini adalah bencana yang tidak dapat dipertahankan. Kita bisa kehilangan Port-au-Prince kapan saja," kata Claude Joseph, mantan perdana menteri.
Berbagai geng juga telah mengepung kantor Digicel. Ini merupakan perusahaan jaringan seluler utama Haiti yang digunakan sebagian besar orang untuk terhubung ke internet.
"Jika Digicel mati, negara akan gelap," kata seorang pakar keamanan memperingatkan.
Dilaporkan pula bagaimana gangster tersebut menggunakan sistem satelit Starlink milik Elon Musk untuk berkomunikasi, mengorganisasi diri mereka sendiri hingga mampu mengendalikan akses ke pelabuhan Haiti. Mereka juga memeras pengemudi truk dan operator bus yang melintas di sepanjang jalan utama negara itu.
Sementara itu, PBB melaporkan bahwa pada Februari dan Maret lebih dari 1.000 orang tewas. Sebanyak 60.000 orang mengungsi, menambah 1 juta orang atau hampir 10% dari populasi, yang telah meninggalkan rumah mereka dalam dua tahun terakhir.
Haiti Tengah, yang dulunya relatif damai, juga terpecah menjadi wilayah kekuasaan. Mirebalais, kota yang terletak di antara Port-au-Prince dan perbatasan dengan Republik Dominika, sekarang dikuasai oleh geng-geng.
"Negara ini telah menjadi perusahaan kriminal. Ini adalah dunia barat yang liar," kata seorang pejabat asing.
Perlu diketahui, pada 2 Mei, Amerika Serikat (AS) telah menetapkan Viv Ansanm dan organisasi sejenisnya sebagai kelompok teroris. Penetapan ini membuka pintu bagi hukuman pidana yang lebih berat bagi mereka yang memberi mereka uang dan senjata.
Saat ini kehidupan publik di Haiti sudah tak berfungsi. Sebagian besar sekolah ditutup sedangkan penyakit kolera menyebar.
(fsd/fsd)