Singkong di Lampung Tak Laku Efek Tapioka Impor, Boroknya Terbongkar

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
25 June 2025 13:28
Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal  dan jajarannya rapat dengan Baleg DPR, Rabu (25/6/2025). (CNBC Indonesia/Robertus Andrianto)
Foto: Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal dan jajarannya rapat dengan Baleg DPR, Rabu (25/6/2025). (CNBC Indonesia/Robertus Andrianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal curhat ke Baleg DPR RI mengenai kondisi petani serta industri singkong dan tepung tapioka di wilayahnya. Dia mengatakan, saat ini kondisi petani dan industri di kedua sektor itu sedang bernasib miris. Padahal, kedua bidang usaha ini adalah urat nadi ekonomi masyarakat Lampung.

Dalam rapat dengan Baleg itu, Rahmat Mirzani mengeluhkan harga singkong petani yang tidak mampu bersaing hingga pasokan tapioka yang tidak mampu diserap oleh industri nasional.

"Provinsi Lampung itu 9.400.000, hampir 70% dari penduduk itu hidup dari pertanian. Mayoritas, sebagian besar, hampir 1 juta keluarga, 800.000 keluarga. 800.000 keluarga ini adalah petani singkong. Jadi kira-kira 2 juta lebih ini adalah petani Singkong," ucapnya di depan Baleg DPR RI pada Rabu (25/6/2025).

Tak hanya sebagai profesi sebagian besar masyarakat Lampung, singkong dan tepung tapioka memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi Lampung.

"Data sementara, 50% nasional. Nomor dua itu adalah padi, nomor tiga adalah jagung. Dari GDP di PDRB sendiri, dari 483 triliun PDRB di Provinsi Lampung, ini 50 triliunnya ini dari Singkong dan turunannya," ucap Rahmat Mirzani.

Persoalan pertama yang membuat kondisi industri singkong dan turunannya adalah berawal dari program membuat Lampung menjadi provinsi yang mampu mengembangkan singkong dan industri turunannya. Program ini sudah disusun sejak 2001, namun tidak dikawal sehingga lepas kendali. Padahal Lampung disebut penyumbang 50% produsen singkong Indonesia.

"Padahal sejak 2001, ada program Industri Tanaman Tapioca Rakyat atau ITARA. Di perjalanan, tata niaga tidak diatur. Industri berjalan sendiri, petani berjalan sendiri," katanya.

Sebagai gambaran, Gubernur Lampung menjabarkan, setelah tiga tahun terakhir baru ada asosiasi petani dan baru tahun ini organisasi yang membawahi industri singkong dan turunanya dibentuk.

Kesejahteraan petani singkong di Lampung juga menjadi sorotan sebab jauh di bawah standar UMR.

Menurutnya hal ini karena Harga Eceran terendah (HET) rendah. 

"2024 kemarin, HET kita akhir Rp900 per kilogram. Dengan potongan 15-20%. Pendapatan petani tapioka kita tidak lebih dari Rp1 juta per bulan. Rp1 juta per hektare," jelasnya.

Setelah petani melakukan demo, akhirnya HET naik menjadi Rp1.350 per kilogram. Namun ternyata tidak mampu diserap oleh industri dan kemudian menjadi permasalahan baru.

"Tapi teman-teman pengusaha rugi semua. Harga mereka tidak kompetitif. Akhirnya mereka tidak bersedia membeli," katanya.

Ujung-ujungnya pengusaha memilih impor tepung tapioka karena harganya lebih murah. "Mereka (petani Lampung) kalau tidak salah produksi per kilo Rp6.000. Sedangkan tepung tapioka impor cuma Rp5.200 dan tidak pernah kena pajak. Tepung tapioka itu tidak pernah kena pajak."

Sebagai solusi sementara, HET singkong kemudian menjadi Rp1.320 per kilogram dengan potongan 30%. "Pengusaha-pengusaha singkong pun terpaksa menerima HET potongan 30% ini untuk menyelamatkan petani-petani."

Akibat tidak terserapnya singkong, stok di Lampung pun melimpah, diperkirakan mencapai 250.000 ton.

Permasalahan berikutnya menurut Rahmat Mirzani adalah keakuratan data di pusat. Menurut hasil cek data Gubernur Lampung itu, menurut data SINAS produksi tepung tapioka lampung bisa mencapai 1,4 juta ton. Padahal menurut data yang ia himpun dari pengusaha maupun kantor wilayah pajak lebih dari itu.

"Menurut teman-teman pengusaha, mereka produksi 4 juta ton. Kanwil Pajak Provinsi Lampung mengatakan, tapi belum secara tertulis, produksi yang dilaporkan oleh tepung tapioka di Provinsi Lampung ini 3,9 juta ton sampai Rp 4,2 juta ton."

Ia mengatakan selisih data antara pemerintah pusat dan wilayah ini juga mengubah asumsi data turunannya.

"Berarti produksi kami di Lampung kalau satu ton tapioka butuh 4 ton (singkong), berarti kayak tadi kami produksi hampir 20 juta ton singkong dan ada 600.000 hektare lahan singkong di Provinsi Lampung," tukasnya.

"Sehingga kesalahan data ini menyebabkan kesalahan-kesalahan kebijakan ke bawah," kata Rahmat Mirzani.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Bergairahnya Usaha Agrowisata Jadi Bisnis Sampingan Peternak AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular