Arthur Laffer: Perbaikan Fiskal Jadi Sebuah Keharusan Bagi RI

Khoirul Anam, CNBC Indonesia
17 June 2025 12:32
Founder & Chairman of Laffer Associates, Former Advisor to the President of The United States, Arthur B.Laffer. (Dok. Young America's Foundation)
Foto: Founder & Chairman of Laffer Associates, Former Advisor to the President of The United States, Arthur B.Laffer. (Dok. Young America's Foundation)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom legendaris Amerika Serikat (AS) Arthur B. Laffer menilai tarif pajak yang tinggi dapat mengurangi pendapatan pemerintah, yang dapat menghambat aktivitas yang menghasilkan pendapatan kena pajak. Dia mengungkapkan pada tahun 2024, penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp1.932,4 triliun, atau sekitar 68% dari total pendapatan negara. Ini termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan, bea masuk, dan pajak cukai.

Di sisi lain, meski kontribusinya cukup besar, rasio pajak Indonesia terhadap PDB Indonesia telah menurun, dari 11,4% pada tahun 2014 menjadi hanya 8,7% pada tahun 2024. Laffer mengatakan hal ini tidak menandakan pajak yang rendah, namun menandakan basis pajak yang sempit dan desain kebijakan yang tidak efisien.

"Oleh karena itu, solusinya bukanlah menaikkan tarif. Melainkan memperluas basis, menyederhanakan sistem, dan memberikan insentif yang tepat," kata Laffer kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (13/6/2025).

Dia mencontohkan pajak cukai Indonesia saat ini terutama dikenakan kepada beberapa produk seperti, tembakau, minuman beralkohol, dan etanol. Bahkan saat ini minuman mengandung gula ditambahkan dalam daftar meski belum terkena pajak.

"Saya khawatir fokus yang sempit ini berisiko dan tidak berkelanjutan," tegasnya.

Buktinya terjadi pada industri tembakau. Menurut Laffer, tembakau mendominasi cukai Indonesia hingga 95%. Dia khawatir sektor ini akan terbebani yang menurutnya akan membebani sektor tembakau sehingga industrinya akan menjadi kontraproduktif.

Hal ini mendorong penurunan perdagangan, yang mempengaruhi pendapatan pemerintah, mengurangi penjualan legal, mendorong perdagangan gelap, dan merugikan lapangan kerja di industri padat karya. Tren semacam itu dapat diamati di Indonesia dan juga di negara-negara tetangga regional lainnya seperti Filipina, Thailand, dan Pakistan. Jika hal ini terus berlanjut, maka hal ini akan menempatkan Pemerintah, masyarakat, dan industri dalam situasi yang merugi.

"Indonesia harus meninjau ulang struktur cukai tembakaunya, serta perpajakan yang efisien, dan bukan perpajakan yang berlebihan demi melindungi pendapatan, mendukung lapangan kerja, dan mencegah kebocoran ekonomi. Perpajakan juga memastikan bahwa kebijakan fiskal berfungsi sebagai alat yang stabil untuk pertumbuhan, bukan hambatan yang tidak dapat diprediksi," kata Laffer.

Laffer juga mendukung Indonesia agar mendiversifikasi sumber pendapatan cukai karena bergantung pada satu sektor saja sangat berisiko.

"Kerangka cukai yang lebih luas dan lebih seimbang akan meningkatkan ketahanan fiskal dan mengurangi volatilitas," pungkas Laffer.

 


(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Ekonom AS Soroti Stabilitas dan Pajak Jadi Kunci Ekonomi RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular