Mengenal Ayatollah Ali Khamenei, Sang Penjaga Api Revolusi Islam Iran

Jakarta, CNBC Indonesia - Di usia 84 tahun, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Hosseini Khamenei kembali menjadi sorotan dunia di tengah konflik bersenjata yang memburuk dengan Israel.
Setelah lebih dari tiga dekade menggenggam kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran, Khamenei kini menghadapi tantangan terbesar sepanjang karier politiknya, situasi yang selama ini berusaha ia hindari melalui strategi kehati-hatian dan kontrol ketat terhadap kekuasaan.
Melansir The Guardian, ketika ia tampil di depan publik untuk pertama kalinya dalam 5 tahun pada bulan Oktober lalu, Khamenei menyampaikan pesan tanpa kompromi kepada puluhan ribu pendukung di sebuah masjid di Teheran.
"Israel tidak akan bertahan lama," serunya lantang dalam khotbah Jumat. Ia menambahkan, "Kita harus melawan musuh sambil memperkuat keimanan kita yang tak tergoyahkan."
Pernyataan keras itu datang hanya beberapa hari setelah Israel membunuh Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah, melalui serangan bom besar di markas organisasi tersebut di Beirut. Nasrallah bukan hanya sekutu politik, tetapi juga teman pribadi Khamenei selama puluhan tahun.
Pembunuhan itu menjadi pukulan emosional sekaligus strategis yang besar bagi pemimpin Iran tersebut.
Kini, ketika Israel melancarkan ofensif udara ke wilayah Iran sejak Jumat lalu, situasi makin memburuk. Meski Teheran membalas dengan peluncuran rudal dan drone ke Tel Aviv, serangan balik tersebut tampak gagal meredam agresi militer Israel.
Sistem pertahanan udara Iran dianggap tidak efektif, sementara jaringan milisi proksi yang selama ini dibina Khamenei, kini tercerai-berai dan tidak mampu memberikan perlawanan berarti.
Bagi Khamenei, ini adalah skenario yang paling ditakutinya - krisis besar tanpa banyak pilihan strategis yang tersisa.
Dari Santri ke Pemimpin Absolut
Lahir sebagai anak seorang ulama kecil di kota suci Masyhad di timur Iran, Khamenei muda memulai perjalanan politiknya pada 1960-an dalam atmosfer ketegangan di bawah pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi yang saat itu sedang meluncurkan program reformasi modernisasi. Reformasi ini ditentang keras oleh kalangan ulama konservatif.
Sebagai mahasiswa agama di kota Qom, pusat studi teologi Syiah, Khamenei dipengaruhi oleh ajaran Islam konservatif serta pemikiran radikal Ayatollah Ruhollah Khomeini, tokoh oposisi utama yang kala itu telah diasingkan. Pada akhir 1960-an, Khamenei telah menjadi agen bawah tanah Khomeini dan penyelenggara aktivitas Islamis di Iran.
Selain pemikiran religius, Khamenei juga menyerap ideologi anti-kolonial dan anti-Barat yang berkembang kala itu. Ia dikenal sebagai penggemar karya sastra Barat seperti Leo Tolstoy, Victor Hugo, dan John Steinbeck, namun pada saat yang sama aktif menerjemahkan karya-karya Sayyid Qutb - ideolog Islam radikal asal Mesir - ke dalam bahasa Farsi.
Ditangkap dan dipenjara berulang kali oleh dinas intelijen Iran, Khamenei tetap mampu berperan dalam revolusi tahun 1978 yang menggulingkan Shah. Ia dengan cepat naik dalam hierarki pemerintahan baru dan pada 1981 terpilih sebagai presiden, meski posisi itu lebih bersifat seremonial.
Ia juga selamat dari upaya pembunuhan yang menyebabkan lengan kirinya lumpuh permanen.
Setelah kematian Khomeini pada 1989, Khamenei diangkat sebagai pemimpin tertinggi menggantikan mentornya itu, setelah dilakukan amandemen konstitusi agar syarat keulamaan bisa lebih longgar. Sejak itu, ia memperluas kekuasaannya dan membangun kontrol menyeluruh atas struktur negara Iran pasca-revolusi.
Imperium Kekuasaan
Salah satu fondasi utama kekuasaannya adalah Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), institusi militer dan ideologis yang memiliki pengaruh luas di bidang sosial dan ekonomi Iran. Namun Khamenei tak semata-mata bergantung pada IRGC, ia juga secara cermat menjalin aliansi dengan kelompok dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.
Selama dekade 1990-an, ia secara sistematis menyingkirkan lawan politik, memberikan penghargaan bagi loyalisnya, dan bahkan ikut membungkam para penyair yang dulu ia puji. Pembangkang di luar negeri menjadi target pembunuhan, dan hubungan dengan Hizbullah yang didirikan IRGC setelah revolusi makin diperkuat.
Ia menempatkan prinsip-prinsip revolusi sebagai fondasi kebijakan, tetapi menerapkannya secara pragmatis. Ketika Mohammad Khatami, seorang reformis, terpilih sebagai presiden pada 1997, Khamenei membiarkannya melakukan sejumlah manuver diplomatik termasuk pendekatan ke AS pascaserangan 11 September.
Namun, ia tetap menjaga agar inti ideologi republik Islam tidak terganggu.
Khamenei juga mendukung taktik IRGC dalam menghadapi AS di Irak setelah invasi 2003, dengan menggunakan kelompok proksi untuk menekan kehadiran militer Amerika dan memperluas pengaruh Iran di kawasan.
Strategi ini juga digunakan terhadap Israel yang sejak 1979 dijuluki sebagai "Setan Kecil," dalam aliansi dengan AS sebagai "Setan Besar".
Perlawanan Regional
Khamenei menjadi arsitek "Poros Perlawanan" (Axis of Resistance), yakni aliansi dengan kelompok bersenjata seperti Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan berbagai milisi Syiah di Suriah dan Irak. Strategi ini awalnya dianggap jitu untuk memperluas pengaruh Iran di Timur Tengah.
Namun kini, jaringan tersebut berada di ujung kehancuran akibat serangan-serangan Israel yang masif. Kehilangan Hassan Nasrallah dan keruntuhan rezim Bashar al-Assad di Suriah pada Desember lalu, menandai kemunduran besar dalam agenda Khamenei di kawasan.
Selama bertahun-tahun, Khamenei dikenal mempertahankan gaya hidup sederhana, tinggal di kompleks di Jalan Palestina, Teheran, bersama istri dan anak-anaknya. Namun, sebagian skeptis meragukan kesederhanaan ini, mengingat citra kontras antara dirinya dan pejabat lain yang hidup mewah.
Kini, kondisi fisik Khamenei mulai memburuk, dan spekulasi soal siapa yang akan menggantikannya kian mencuat. Meski hingga kini ia masih menjadi tokoh sentral yang mampu menavigasi konflik internal dan eksternal, gejolak terbaru ini - baik dari dalam negeri maupun luar - bisa menjadi tantangan terakhir yang tak mampu ia jinakkan.
Karier panjang seorang pemimpin revolusioner tampaknya akan menghadapi babak penutup penuh gejolak, yakni ancaman kehancuran aliansi luar negeri, tekanan ekonomi dalam negeri, serta perang terbuka yang belum tentu bisa dimenangkan.
Â
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Titipan Pesan Ayatollah ke Donald Trump Usai Diancam Pakai Bom
