Wawancara Eksklusif

Tarif Pajak Rendah, Strategi Dorong Ekonomi Negara Berkembang

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
Senin, 16/06/2025 10:10 WIB
Foto: Mantan Penasihat Trump Bicara Sistem Pajak & Regulasi di RI, Arthur B.Laffer. (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom ternama asal Amerika Serikat, Arthur B. Laffer, menegaskan bahwa tarif pajak yang terlalu tinggi justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam wawancara eksklusif bersama CNBC Indonesia, Laffer menjelaskan bagaimana kebijakan fiskal yang tepat dapat menciptakan kemakmuran dan meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.

Sebagai pencetus teori Kurva Laffer, ia menyoroti hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara. Menurutnya, menaikkan tarif secara ekstrem tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan negara. Sebaliknya, hal itu justru bisa menekan daya beli, mengurangi investasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.


"Menurut saya, efek kurva Laffer jauh lebih kuat di Indonesia dibandingkan di AS. Karena itu, Indonesia harus sangat berhati-hati agar tidak membunuh kemakmuran. Sebuah negara tidak bisa mengenakan pajak pada diri mereka sendiri untuk mencapai kemakmuran," ujar Laffer dalam Program Manufacture Check CNBC Indonesia, Senin (16/6/2025).

Laffer menekankan bahwa tarif pajak yang tinggi justru mendorong masyarakat untuk mencari celah penghindaran pajak. Hal ini dapat mengalihkan fokus pelaku usaha dari aktivitas produktif ke strategi penghindaran pajak.

"Ketika tarif pajak semakin tinggi, ketidakpatuhan menjadi semakin menguntungkan. Akibatnya, orang mulai mengakali pajaknya. Mereka berhenti menjalankan usahanya dan justru lebih fokus pada urusan pajak ketimbang kegiatan bisnis yang seharusnya mereka lakukan," tegasnya.

Foto: Tabel Doktor Laffer. (Dok. Dr. Arthur B. Laffer)
Tabel Doktor Laffer. (Dok. Dr. Arthur B. Laffer)

Pernyataan ini menjadi relevan di tengah wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% sesuai amanat UU HPP yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Namun, Presiden Prabowo Subianto memutuskan bahwa kenaikan tersebut hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, sementara kebutuhan pokok tetap dikenakan PPN 11%.

Menurut Laffer, negara berkembang seperti Indonesia perlu mengadopsi pendekatan fiskal yang ringan namun efektif. Pemerintah sebaiknya tidak terlalu mendominasi pasar, melainkan menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan sektor swasta.

"Pemerintah sebaiknya berperan kecil, mengenakan pajak yang ringan, dan regulasi yang juga ringan. Itulah jalan menuju kemakmuran," ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya menjaga kepercayaan publik dan memastikan agar pemerintah tidak menjadi hambatan dalam proses pembangunan ekonomi. "Perlu memastikan para produsen, pelaku industri, wirausaha, dan investor bisa fokus pada pertumbuhan, bukan pada pajak," tambahnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Wamen Investasi Ungkap Alasan RI Menarik bagi Investor Dunia