Bos Pengusaha Sawit Was-Was Harga CPO Naik, Kenapa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) nasional terpantau terus bergerak naik. Di mana harga CPO di pasar domestik, menurut KPB Nusantara, harga CPO yang dikirim ke Dumai, Belawan, dan Kotabaru naik dari Rp14.740 per kg pada 4 Maret 2025 menjadi Rp14.800 per kg pada 5 Maret 2025.
Sementara itu, di pasar internasional, harga minyak sawit mentah asal Indonesia dan Malaysia yang dikirim ke Rotterdam (CIF Rotterdam) pada 4 Maret 2025 berada di level US$1.220 atau setara Rp19,9 juta per ton (asumsi kurs Rp16.330/US$).
Namun, kondisi tersebut justru membuat para pelaku usaha kelapa sawit khawatir. Pasalnya, harga yang terlalu tinggi bisa membuat konsumen global berpaling ke minyak nabati lain.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menyebut harga CPO saat ini sudah lebih mahal dibanding minyak nabati lain. Hal ini membuat sawit berubah status menjadi minyak premium.
"Harga minyak sawit ini sekarang sudah lebih tinggi dari minyak nabati lain. Artinya bahwa sawit ini sekarang sudah menjadi minyak premium. Ini justru buat kita ini menjadi tantangan," ujar Eddy dalam Konferensi Pers dan Syukuran HUT GAPKI ke-44 di Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Adapun kekhawatiran utamanya adalah peralihan konsumen, seperti yang sudah terjadi di India. Jika negara-negara lain ikut beralih ke minyak nabati lain karena harga sawit terlalu tinggi, bisa sulit menarik mereka untuk kembali mengonsumsi minyak nabati berbahan dasar sawit.
"Nah, yang kita khawatir adalah, kalau konsumen itu sudah beralih ke minyak nabati lain, untuk kembali lagi ke sawit, rasanya itu butuh effort lagi yang cukup besar," jelasnya.
Senada dengan Eddy, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menilai kondisi harga CPO saat ini sudah di luar kebiasaan alias anomali. Ia mengingatkan bahwa harga tinggi bisa menjadi bumerang, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah komoditas karet Indonesia.
"Ingat tahun 1950 apa yang terjadi? 1950 itu perang Korea. Harga karet kita itu US$8,5 per kg. Apa yang terjadi? Muncul sintetik karet. Kenapa? Marginnya cukup tinggi sehingga mereka dengan cost chemical process bisa dapat," kata Sahat dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, kondisi serupa bisa terjadi di industri sawit jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas dalam menentukan harga.
"Yang saya heran itu pemerintah kok nggak berbuat apa-apa. Jadi, Indonesia harus punya orang yang bisa menentukan harga, berapa harga jualan kita. Ini kita bisa dipermainkan oleh negara lain," tegasnya.
Dengan harga yang terus naik, pelaku industri sawit berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan yang menjaga keseimbangan pasar, agar sawit tetap kompetitif di tengah persaingan minyak nabati global.
(wur)