Pengusaha Menjerit Dipalak Preman Ormas-Mau Aman Bayar 'Uang Keamanan'
Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengusaha di Indonesia kerap menghadapi tantangan tak terduga dalam menjalankan bisnis, salah satunya adalah pungutan liar yang dilakukan oleh kelompok organisasi masyarakat (Ormas). Praktik pemalakan ini terjadi di berbagai daerah, terutama dalam proyek-proyek pembangunan. Tak jarang, pengusaha terpaksa memenuhi permintaan tersebut demi kelancaran bisnis mereka.
Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani menyebut fenomena ini sudah lama ada dan sering menjadi kendala bagi dunia usaha. Dia pun mengungkapkan bahwa modus pemalakan beragam, tergantung pada situasi dan proyek yang sedang berjalan. Salah satu yang paling umum adalah permintaan jatah dalam proyek pembangunan.
"Kalau itu proyek pada waktu pembangunan, mereka misalnya mulai dari kuli angkut, nah itu mereka minta bagian tuh. Minta bagian kuli angkut kayak gitu. Itu mereka memalak dari situ," ungkap Hariyadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/3/2025).
Selain itu, ada juga modus dengan alasan kompensasi sosial. "Biasanya mereka melibatkan lingkungan. Mereka minta jatah yang terkait dengan pekerjaan proyek, minta dari sisi kompensasi, kayak gitu-gitu. Nah, itu yang dilakukan oleh Ormas," lanjutnya.
Ada juga yang meminta 'uang keamanan', misalnya dengan menguasai lahan parkir atau meminta pungutan dari proses bongkar muat barang. Semua itu dilakukan tanpa prosedur yang jelas dan lebih menyerupai paksaan.
Lantas, jika itu jelas-jelas pungutan liar, kenapa para pengusaha memilih untuk tetap membayar? Jawabannya sederhana, yakni menghindari konflik dan menjaga kelangsungan bisnis.
"Akhirnya yang dipalak ini, daripada dipusingin, ya udah deh tawar-menawar. Harganya bisa lebih rendah, tapi dia lebih aman. Walaupun itu nggak benar ya, karena menelikung regulasi," kata dia.
Menurutnya, banyak dari para pelaku pemalakan atau Ormas ini adalah orang-orang yang memang tidak memiliki pekerjaan tetap dan mencari celah dari proyek-proyek yang ada. "Kebanyakan mereka tuh kan nggak punya kerjaan ya. Jadi cari-carinya kayak begitu," tambahnya.
Adapun terkait besaran biaya yang harus dikeluarkan pengusaha akibat praktik ini, Hariyadi mengatakan jumlahnya sangat bervariasi. "Itu variatif. Variatif tergantung juga kita pendekatannya gimana. Kalau kita pendekatannya tidak luwes, ya kenanya bisa banyak. Tapi kalau kita luwes, artinya ya ya ini kan masalah seperti tadi saya bilang, 'ini mau gimana nih? Mau ngotot-ngototan?' Yang ada jadi nggak jalan tuh bisnisnya," terang dia.
Kendati demikian, ia menekankan bahwa fenomena ini tidak bisa digeneralisasi ke semua daerah atau semua Ormas. "Saya nggak bisa bilang semuanya seperti itu ya. Nanti terlalu didramatisir juga. Jadi itu tergantung juga daerahnya gimana, ada singgungan sosial nggak, ada singgungan dengan regulasi atau nggak," ujarnya.
(wur)