Puncak Emisi Karbon RI Diramal Baru Terjadi pada 2035

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2020-2024 Satya Widya Yudha membeberkan, bahwa puncak sumbangan emisi karbon di Indonesia akan terjadi pada tahun 2035 mendatang. Hal itu lantaran Indonesia sendiri masih memiliki pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang baru beroperasi hingga tahun 2026 mendatang.
"Toh Kita juga sudah sepakat bahwa peak emission kita di tahun 2035. Itu kita mengakomodasi PLTU yang baru masuk 2024 kemarin, 2025, 2026 masih ada PLTU yang telat ini. Jadi masih ada. Jadi 2035 baru kita anggap itu peak," ujarnya dalam acara Swasembada Energi CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Kamis (20/2/2025).
Di samping menunggu puncak sumbangan emisi karbon di 2035 mendatang, Indonesia tidak tinggal diam. Satya mengungkapkan berbagai upaya untuk mengurangi emisi karbon tetap dilakukan di Indonesia. "Net zero emission, itu yang kita kejar. Phasing out itu cara cepat, cara cepat supaya kita bisa memenuhi jumlah daripada emisi yang kita capai," katanya.
Meskipun, lanjutnya, sumbangan emisi karbon di Indonesia masih terhitung jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat (AS).
Bahkan, Satya menyebutkan Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan sumbangan emisi karbon ke udara hingga 446 juta ton sampai tahun 2030 mendatang.
"Karena kita sebagai climate change believer, kita bukan climate change denier kayak Trump ya. Karena kita climate change believer, berarti apa ukurannya? Ukurannya dari NDC kita, dari Nationally Determined Contributions. Kita sudah commit 2030 menurunkan sampai 446 juta ton atau 330 sekian juta ton kalau tanpa bantuan internasional," imbuhnya.
Berdasarkan datanya, Satya menyebutkan Indonesia intensitas sumbangan emisi karbon per kapita di Indonesia sebesar 3 juta ton, jauh dari AS yang terhitung mencapai 13 juta ton emisi karbon per kapita.
"Kayak di Eropa tuh tahun 1971 mereka sudah peak emission. Maka kenapa di dalam beberapa diskusi itu selalu dilihat apakah ini fair apa enggak sih. Karena intensitas emisi kita per kapita ternyata kita cuma 3 juta ton. Sementara Amerika itu 12-13 juta ton. Maka ini digugat lah paling tidak. Jadi kenapa kalau Indonesia dikejar-kejar," tambahnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gaspol! Prabowo Bakal Lanjutkan Hilirisasi Sampai Konsumen Akhir
