Rupiah Keok, Pengusaha Tekstil Cemas Barang China Merajalela Serbu RI

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
19 December 2024 20:50
Pembeli memilih kain di salah satu toko tekstil di Pasar Baru, Jakarta, Selasa (6/4/2021). Pemerintah didesak untuk segera memberlakukan penerapan safequard atau perlindungan karena makin markanya produksi tekstil impor di Indonesia. Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Rizal Tanzil Rakhman menyebutkan bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sektor kain atau garmen saat ini tengah menghadapi gempuran impor kain yang mencapai 46 persen. Pantauan CNBC Indonesia kain didatangkan langsung dari Tiongkok, India dan Italia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Garmen (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus terjadi mulai memicu kekhawatiran di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia Situasi ini disebut-sebut akan memperburuk daya saing industri tekstil lokal di tengah gempuran produk impor, khususnya dari China.

Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan hari ini (19/12/2024) rupiah anjlok hingga 1.24% ke level Rp16.285/US$. Pelemahan lebih dari 1% ini adalah yang terdalam sejak 7 Oktober 2024 yakni sebelumnya sebesar 1,26%.

Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi hingga sentuh level Rp16.130/US$ dan terjauh di posisi Rp16,300/US$. Pelemahan ini adalah yang terdalam sejak 30 Juli 2024 dengan sebelumnya berada pada posisi Rp16.295/US$.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengungkapkan depresiasi rupiah memberikan dampak signifikan pada industri tekstil domestik.

"Bahan baku industri tekstil kita berbasis dolar, sehingga depresiasi rupiah membuat biaya produksi meningkat. Sementara itu, produk jadi dari China justru semakin kompetitif karena mata uang yuan juga melemah," jelas Jemmy kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2024).

Pelemahan yuan disebut Jemmy menjadi salah satu faktor yang meningkatkan daya saing produk tekstil asal China di pasar domestik. "Produk China makin murah karena yuan melemah. Jadi produk jadi China ke Indonesia itu akan lebih berdaya saing," tambahnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta. Menurutnya, barang jadi dari China justru semakin murah meskipun nilai tukar dolar AS terhadap rupiah melemah. Ditambah lagi, banyak barang dari China yang masuk dengan pola dumping atau subsidi, sehingga harganya menjadi tidak realistis.

"Jadi kalau logikanya kan barang-barang dari Cina harusnya lebih mahal, kalau nilai dolarnya kita melemah. Tapi karena yuannya juga melemah, ditambah China ini kan kalau jual, jual barang-barang sisa, dumping, disubsidi gitu ya. Tetap saja, jadi nggak akan ngaruh dengan dolar yang melemah Ini, buat China nggak ngaruh," ucap Redma dalam kesempatan yang sama.

"Di satu sisi industri kita tertekan. Karena tadi bahan bakunya juga kita jual pakai dolar. Akan ada penyesuaian. Di sisi lain barang jadinya dari China ini nggak melemah. Barang jadi dari China justru malah tambah daya saing," sambungnya.

Pukulan Beruntun Bagi Industri Lokal

Tidak hanya tekanan dari produk impor, pelaku industri TPT juga harus menghadapi kenaikan biaya produksi di dalam negeri. Jemmy menyebutkan, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% serta Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) turut menambah beban industri.

"Di satu sisi, biaya produksi meningkat, sementara produk China membanjiri pasar dengan harga lebih murah. Industri lokal jadi tertekan," keluh keduanya.

Untuk mengatasi ancaman ini, API bersama APSyFI mendesak pemerintah segera menerapkan kebijakan proteksi seperti safeguard dan aturan anti-dumping.

"Kita harus memitigasinya dengan membuat regulasi yang lebih melindungi pasar dalam negeri. Otomatis supaya menghidupkan industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor. Sehingga kebutuhan US Dollar kita bisa ditekan. (Kebijakan yang lebih melindungi itu) salah satunya kita harus berlakukan safeguard, anti-dumping, atau non-tarif barrier lainnya," tukad Jemmy.

Jemmy juga menyoroti pentingnya kerjasama antara kementerian dan lembaga terkait, untuk mempercepat penerapan kebijakan proteksi ini.

"Mungkin kita harapkan, memang harus kerjasama semua, antara berbagai industri dan kementerian untuk segera mewujudkan, sehingga safeguard ini bisa terwujud di waktu dekat ini. Kita harus bekerja ekstra lah," tegasnya.

Tahun 2025 Tantangan Makin Berat

Menjelang tahun 2025, Jemmy memperkirakan tekanan terhadap rupiah masih akan berlanjut. Ia juga menyebut langkah hawkish dari Federal Reserve (The Fed) serta potensi kebijakan proteksionis dari pemerintah AS yang baru akan semakin memperburuk situasi.

"Bilamana pemerintahan baru Amerika lebih protektif, seperti banyak ekonom prediksi, ini akan membuat China semakin kelimpungan. Pasti mereka kelebihan, barangnya akan bertambah banyak, dan membanjiri pasar-pasar seperti Indonesia," tukasnya.

Lebih lanjut, Jemmy menilai jika depresiasi rupiah yang terjadi beberapa hari ini tidak segera dimitigasi, dikhawatirkan pelemahan rupiah akan terus berlanjut hingga memasuki tahun 2025 yang hanya tinggal dua pekan lagi.

"Saya pikir kalau kita nggak memitigasi ini, ya kita khawatirkan ada pelemahan yang lebih lanjut ya," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Selamatkan Sritex & Industri Tekstil RI, Ini PR Menteri Prabowo

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular