Waspada! Harga Nikel Bisa Ambruk Gegara Ini

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Jumat, 06/12/2024 09:30 WIB
Foto: Smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. (Dok. PT GNI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Holding BUMN Industri Pertambangan MIND ID meminta dukungan kepada DPR untuk membatasi pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel baru di Indonesia. Hal ini sebagai bentuk kewaspadaan terjadinya over suplai produk nikel yang bisa membuat harga menjadi ambruk.

"Kalau over supply seperti yang sudah terjadi di feronikel, harganya jatuh, karena over supply yang secara tidak langsung dan tidak sengaja mungkin dilakukan. Sehingga sekarang harga Feronikel itu hampir tidak bisa menutup biaya produksi," kata Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, dikutip Jumat (6/12/2024).

Hendi menitikberatkan, jika smelter nikel kelas dua tersebut terus dibangun di Indonesia maka dikhawatirkan suplai nikel jenis NPI dan FeNi akan semakin membludak sehingga harga produksinya tidak ekonomis lagi.


"Kami berharap agar ada dukungan di sisi tata kelola, mohon adanya pembatasan jumlah smelter yang dilakukan, karena banyaknya jumlah smelter ini kami khawatirkan akan membuat over supply dari sisi pasar dunia," katanya.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan bahwa pemerintah akan mengkaji ulang rencana moratorium atau pembatasan operasi smelter nikel di Indonesia. Memang, pemerintah sempat mengungkapkan ada rencana untuk tidak lagi mengembangkan smelter nikel khususnya jenis RKEF.

Hal itu karena, smelter nikel dengan jenis RKEF sudah terlalu banyak. Nah saat ini, kata Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, pihaknya akan mengkaji kembali rencana moratorium smelter yang mengolah nikel kadar rendah tersebut di Indonesia.

Salah satu alasannya karena mempertimbangkan kebutuhan industri akan produk nikel yang dihasilkan oleh smelter RKEF di Indonesia. "Jadi, moratorium itu kelihatan tidak. Kalau kita melakukan moratorium, itu justru dampak terhadap industri, itu justru akan berganda," ujar Yuliot saat ditemui di sela acara ASEAN Mining Conference (AMC) 2024, di Meru Sanur, Bali, dikutip Selasa (19/11/2024).

Yuliot menilai, kebijakan moratorium smelter nikel RKEF bisa dilakukan jika memang pasokan nikel hasil smelter RKEF di Indonesia sudah berlebih dan kebutuhan industrinya sudah terpenuhi.

"Untuk moratorium smelter, ya kita harus melihat. Ini kebutuhan industri juga. Jadi, kalau ini kita moratorium, ini kalau memang supply-nya sudah berlebih, itu kan kita juga bisa melakukan evaluasi, dan juga diantaranya kebijakannya adalah moratorium," jelasnya.

Namun untuk saat ini, tegas Yuliot, pemerintah belum mengambil langkah untuk melakukan moratorium smelter nikel RKEF dalam negeri.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno menambahkan, pihaknya memang sebelumnya sempat mempertimbangkan untuk melakukan pembatasan atau moratorium smelter nikel RKEF dalam negeri.

Namun saat ini pihaknya masih melakukan evaluasi kembali apakah langkah moratorium tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah.

"Iya, masih evaluasi. Kalau dulu memang pernah ada pembahasan untuk moratorium (smelter) RKEF, sekarang kita evaluasi kembali yang pas seperti apa, kira-kira seperti itu," kata Tri dalam kesempatan yang sama.

Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), komoditas nikel Indonesia ini menjadi yang terbesar ke-1 di dunia atau setara dengan 23% cadangan di dunia.

Nikel memiliki total sumber daya 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam, dengan cadangan 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam. Komoditas ini sendiri masih memiliki wilayah yang belum dieksplorasi atau greenfield antara lain daerah yang memiliki kandungan nikel Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ahli UGM Sebut Kerugian Tambang Raja Ampat Lampaui Kasus Timah