
Kronologi-Penyebab 3 Raksasa Otomotif Dunia Menuju Jurang Kejatuhan

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang kejatuhan para raksasa otomotif dunia mulai menerpa, khususnya di Eropa. Sejumlah perusahaan membukukan penurunan penjualan hingga terpaksa menutup pabrik dan melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Setidaknya ada tiga perusahaan otomotif Eropa yang terpukul cukup keras sejak beberapa tahun terakhir, yakni Volkswagen (VW), Renault, dan Stellantis. Ketiganya tengah berjibaku menahan kinerja perusahaan agar tak makin jeblok.
Kabar terbaru datang dari VW perusahaan otomotif terbesar di Eropa, yang berencana untuk menutup setidaknya tiga pabrik di Jerman, memberhentikan puluhan ribu karyawan, dan mengurangi kapasitas pabrik lainnya sebagai bagian dari langkah restrukturisasi besar-besaran.
Kepala dewan perwakilan pekerja VW, Daniela Cavallo, menyampaikan pada Senin (28/10/2024) bahwa langkah ini dilakukan sebagai respons terhadap tekanan besar yang dihadapi perusahaan, termasuk biaya energi dan tenaga kerja yang tinggi, kompetisi ketat dengan produsen Asia, serta menurunnya permintaan di Eropa dan China.
"Manajemen sangat serius mengenai hal ini. Ini bukan gertakan dalam putaran perundingan bersama," ujar Cavallo dalam pertemuan dengan karyawan di Wolfsburg, pusat utama Volkswagen, dilansir Reuters.
Ia menambahkan bahwa langkah tersebut bisa menjadi awal penjualan besar-besaran aset Volkswagen di negara asalnya, Jerman. Cavallo tidak menyebutkan secara spesifik pabrik mana yang akan terdampak atau jumlah pasti karyawan dari total sekitar 300.000 pekerja di Jerman yang berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Rencana restrukturisasi ini muncul di tengah negosiasi panjang antara VW dan serikat pekerja untuk mengurangi biaya operasional. Cavallo juga mengungkapkan bahwa perusahaan berencana untuk memotong gaji merek Volkswagen setidaknya sebesar 10% dan membekukan kenaikan gaji hingga 2025 dan 2026.
Sebelumnya, CEO Volkswagen Group Oliver Blume dalam sebuah pernyataan tertulis mengatakan perusahaan kemungkinan akan mengambil tindakan restrukturisasi menyeluruh.
"Industri otomotif Eropa berada dalam situasi yang sangat menuntut dan serius," kata Blume, seperti dilansir CNBC International.
"Lingkungan ekonomi menjadi lebih sulit, dan pesaing baru memasuki pasar Eropa. Selain itu, Jerman khususnya sebagai lokasi manufaktur semakin tertinggal dalam hal daya saing," imbuhnya.
Pemerintah Bertindak
Hal ini pun menjadi perhatian pemerintah Jerman. Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck bahkan telah menggelar pertemuan virtual atau "KTT otomotif" pada bulan lalu, melibatkan perwakilan dari industri otomotif Jerman untuk membahas solusi bagi para produsen mobil yang sedang mengalami kesulitan.
Pertemuan ini digelar seiring permintaan untuk mengatasi penurunan permintaan mobil listrik yang semakin terlihat di Eropa.
Produsen mobil Eropa, termasuk raksasa seperti Volkswagen, Renault, dan Stellantis, menghadapi masalah signifikan dengan penjualan mobil listrik (EV) mereka yang berada di bawah ekspektasi, hingga menyebabkan produksi berlebih.
Bahkan, berdasarkan data Bloomberg Intelligence, yang dikutip Deutsche Welle, satu dari tiga pabrik mobil besar di Eropa - termasuk pabrik BMW, Mercedes, Renault, dan Volkswagen - beroperasi di bawah kapasitas. Situasi ini sangat terlihat di pabrik Stellantis di Mirafiori, Italia, yang memproduksi Fiat 500e sepenuhnya listrik, di mana produksi turun lebih dari 60% pada paruh pertama 2024.
Pakar ekonomi Carsten Brzeski dari Bank ING menilai bahwa industri otomotif Eropa tengah berada di masa "transformasi struktural" yang dipengaruhi oleh tren global menuju mobilitas listrik. Menurut Brzeski, ini adalah "tren yang memicu persaingan lebih ketat" di seluruh industri otomotif.
Persaingan Ketat dengan Produsen Asia
Tekanan terhadap produsen mobil Eropa semakin diperburuk oleh produsen mobil asal China. Meski terdapat tarif Uni Eropa terhadap mobil listrik buatan China, perusahaan seperti Geely, Chery, Great Wall Motor, dan BYD tetap berupaya mendapatkan pijakan di pasar Eropa.
Bahkan, beberapa dari mereka berencana membangun pabrik mobil listrik di Eropa untuk menghindari tarif yang lebih tinggi.
Hans-Werner Sinn, mantan presiden Ifo Institute, menyatakan bahwa perubahan cepat kebijakan pro-lingkungan di China dan Eropa telah memaksa industri otomotif untuk beradaptasi dengan cepat. Selain itu, kebijakan ambisius seperti Green Deal Eropa dan larangan mobil mesin pembakaran dari 2035 telah mengubah kondisi pasar secara radikal.
Menurut Sinn, negara seperti China dan Prancis memanfaatkan perkembangan kendaraan listrik untuk menggoyahkan dominasi teknologi mesin pembakaran yang selama ini dikuasai oleh produsen Jerman.
Akibatnya, produsen mobil Eropa kini memandang produsen China sebagai pesaing utama karena mereka mendapat keuntungan dari transformasi ini.
Ancaman terhadap Ekonomi Eropa
Brzeski menegaskan bahwa penurunan industri otomotif di Eropa, terutama di Jerman, akan mengancam kesejahteraan ekonomi kawasan tersebut. Di Jerman, sektor otomotif mencakup 7% hingga 8% dari output ekonomi tahunan.
Agar industri ini tetap bertahan, ekonom Sinn mengusulkan pembentukan "klub iklim" untuk menciptakan kesetaraan di antara semua produsen mobil dalam pasar global. Gagasan ini, yang pertama kali diusulkan oleh Kanselir Olaf Scholz, bertujuan agar negara-negara penghasil CO2 terbesar seperti Uni Eropa, China, India, Brasil, dan AS menghentikan dukungan untuk bahan bakar fosil.
Sementara itu, pengamat industri otomotif Frank Schwope dari University of Applied Sciences di Jerman menilai bahwa Volkswagen masih memiliki potensi untuk keluar dari kemerosotan penjualan.
Ia mengungkapkan bahwa Volkswagen meraih keuntungan operasional sebesar 22,6 miliar euro pada 2023, dan keuntungan tahun ini diperkirakan mencapai 20 miliar euro. Namun, menurut Schwope, manajemen Volkswagen menciptakan gambaran krisis ini untuk meredam tuntutan kenaikan gaji serta mendukung subsidi baru untuk mobil listrik.
Di sisi lain, Stellantis yang mengalami krisis penjualan telah menghentikan produksi Fiat 500e di Mirafiori, Italia, selama sebulan. Sinisme juga datang dari Sinn, yang menyebut VW hanya sebagai "korban awal" dalam krisis ini dan memperingatkan bahwa industri otomotif Eropa akan menghadapi lebih banyak tantangan di masa depan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Industri Otomotif Eropa Hadapi Masa Sulit
