
Perang Israel Vs Iran di Depan Mata, Arab Saudi Pilih Jadi Juru Damai

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Abbas Araghchi bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Keduanya bertemu di Riyadh untuk membahas meningkatnya ancaman serangan Israel terhadap Teheran.
Keduanya juga membahas langkah-langkah yang dapat diambil oleh kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon untuk mengamankan gencatan senjata, serta menghadapi semakin banyaknya bukti bahwa Amerika Serikat (AS) mendukung upaya Israel untuk membubarkan Hizbullah dan memaksanya untuk melucuti senjata.
"Dialog kami terus berlanjut terkait perkembangan di kawasan tersebut untuk mencegah kejahatan tak tahu malu yang dilakukan rezim Zionis (Israel) di Lebanon sebagai kelanjutan dari kejahatan di Gaza," kata Araqchi dalam sebuah video yang disiarkan oleh media pemerintah, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (10/10/2024).
"Mulai hari ini saya akan memulai perjalanan ke kawasan tersebut, ke Riyadh dan ibu kota lainnya di kawasan tersebut dan kami akan berusaha untuk melakukan gerakan kolektif dari negara-negara di kawasan tersebut... untuk menghentikan serangan brutal di Lebanon," tambahnya.
Lalu bisakah perundingan antara Iran dan Saudi tersebut mencegah Lebanon berubah menjadi Gaza kedua?
Laporan The Guardian menyebut sebagian besar pembicaraan Iran-Saudi akan difokuskan pada bagaimana menanggapi invasi Israel ke Lebanon. Mereka juga membahas apakah Iran ingin menghidupkan kembali jalur diplomatik untuk meredakan krisis atau menganggap Hizbullah dapat pulih secara militer.
Iran dan Arab Saudi adalah dua pemain regional utama tersebut. Araghchi, yang telah mengunjungi Beirut dan Damaskus, telah merahasiakan rencananya, tetapi dia dianggap penting bagi setiap keputusan yang dibutuhkan Hizbullah untuk mencegah Lebanon berubah menjadi Gaza kedua.
Sejauh ini, Hizbullah, meski menyatakan bersedia mendengarkan diskusi gencatan senjata yang dipimpin oleh sekutu politik Lebanon, mereka belum secara resmi menyatakan bersedia menyerah pada tuntutannya untuk "gencatan senjata serentak di Gaza dan Lebanon".
Lebanon telah menjadi sumber ketegangan di masa lalu antara Teheran dan Riyadh, di mana Arab Saudi ingin agar pengaruh Iran dan Hizbullah dibatasi.
"Namun, Menlu Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud menghadapi tantangan. Ia bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan Iran dalam jangka panjang dan ingin AS berbuat lebih banyak untuk mengakui bahaya ganda dari eskalasi Israel, termasuk di Lebanon, dan serangan besar terhadap Iran. Pada saat yang sama, Riyadh menganggap Hizbullah telah menjadi penghalang pembentukan negara yang berfungsi," demikian laporan Guardian pada Selasa.
Di sisi lain, Menlu Saudi juga sangat frustrasi dengan penolakan Israel untuk mendukung negara Palestina. Padahal Hamas, melalui Basen Naim, kepala divisi politik kelompok tersebut, telah memberikan pernyataan yang mengindikasi Hamas dapat menerima solusi dua negara.
Arab Saudi berperan penting dalam mendukung seruan gencatan senjata selama 21 hari yang diresmikan di PBB pada tanggal 25 September, yang didukung oleh AS, Prancis, dan Inggris.
Tiga minggu tersebut dirancang untuk memberi ruang bagi politik Lebanon untuk memilih presiden baru dan mungkin bagi Hizbullah untuk setuju memisahkan krisis Lebanon dari Gaza.
Hizbullah sendiri telah menembakkan roket ke Israel dari Lebanon sejak 8 Oktober tahun lalu untuk mendukung Hamas di Gaza.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menanti Serangan Balas Dendam Israel, Iran Mendadak Ancam Geng Arab
