AS Tuding Industri Nikel RI Lakukan Kerja Paksa, Ini Kronologinya

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Rabu, 09/10/2024 14:05 WIB
Foto: Presiden Jokowi Resmikan Pabrik Smelter Nikel PT. GNI, Kab. Konawe, 27 Desember 2021

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) membuat pernyataan mengejutkan, khususnya berkaitan dengan hilirisasi nikel di Indonesia. AS melalui Wakil Menteri Urusan Perburuhan Internasional, Departemen Perburuhan AS, Thea Lee, menyatakan bahwa hilirisasi nikel di Indonesia terjadi karena ada kerja paksa.

Kronologi pernyataan ini bermula atas pernyataan Lee yang menyinggung kerja paksa pada sektor pertambangan mineral, termasuk nikel, kobalt, tembaga hingga timah.

Awalnya, Lee mengungkapkan, bahwa tren mempekerjakan paksa dan jumlah pekerja anak semakin meningkat khususnya di negara Republik Demokratik Kongo, Zambia, Zimbabwe, dan Bolivia. Tren titu diklaim, bahwa anak-anak menjadi pekerja baik di wilayah pertambangan skala kecil hingga skala besar untuk menangani mineral yang termasuk di dalamnya ada zat-zat beracun.


"Tren kedua yang ingin saya soroti adalah meningkatnya jumlah mineral penting yang diproduksi dengan pekerja anak atau pekerja paksa. Sekarang ada 12 dalam daftar tersebut. Anak-anak di Republik Demokratik Kongo, Zambia, Zimbabwe, dan Bolivia menambang mineral penting seperti kobalt, tembaga, litium, mangan, tantalum, timah, tungsten, dan seng," ujarnya dikutip dari laman resmi U.S. Department of State, dikutip Rabu (9/10/2024).

"Mereka bekerja keras di pertambangan skala kecil dan artisanal yang tidak diatur dengan baik, melakukan tugas-tugas berbahaya seperti menggali terowongan, membawa beban berat, dan menangani zat-zat beracun," imbuhnya.

Tidak terlepas dari negara yang disebutkan, salah satu negara yang juga merupakan negara penghasil produk tambang seperti China, disinggung oleh Lee karena melakukan praktik kerja paksa sekaligus dituding melakukan pencemaran rantai pasok mineral dalam proses produksi tambangnya.

China, lanjut Lee, menjadi negara yang mencemari rantai pasokan mineral penting termasuk aluminium dan polisilikon. "Kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polisilikon dari Tiongkok," kata Lee.

Indonesia dituding

Dalam catatan Lee, Indonesia juga termasuk negara yang menyumbang tren peningkatan kerja paksa khususnya pada produk nikel yang diolah di Indonesia.

Memang, Pemerintah RI sering kali mengklaim bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah cadangan nikel terbesar di dunia. Dengan melimpahnya jumlah cadangan tersebut, Pemerintah RI mengambil langkah kebijakan untuk melakukan hilirisasi atau pengolahan dan pemurnian nikel dalam negeri sejak tahun 2020 lalu, sebelum bisa mengekspor ke negara lain.

"Kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polisilikon dari Tiongkok, nikel dari Indonesia, dan lagi-lagi kobalt, tantalum, dan timah dari DRC (Republik Demokrasi Kongo)," kata Lee.

Tidak hanya dituding melakukan kerja paksa, Lee juga mengatakan bahwa Indonesia sama dengan negara China dan Kongo yang juga melakukan pelanggaran seperti melakukan lembur berlebihan dan tidak sukarela, pekerjaan tidak aman, upah menunggak, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, hingga jeratan utang.

"Pekerja menghadapi pelanggaran seperti lembur yang berlebihan dan tidak sukarela, pekerjaan yang tidak aman, upah yang tidak dibayar, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, dan jeratan utang," tambahnya.

Dia menilai tren peningkatan kerja paksa di berbagai negara termasuk Indonesia itu, turut disebabkan dari peningkatan kebutuhan dunia akan sumber energi terbarukan yang beberapa bahan dasarnya merupakan hasil pertambangan mineral.

"Bagaimana kita menyeimbangkan kebutuhan mendesak kita akan energi bersih dengan keharusan untuk melindungi pekerja yang rentan? Dapatkah kita memastikan bahwa jalan kita menuju masa depan yang lebih berkelanjutan tidak diaspal dengan eksploitasi tenaga kerja?," kata dia.

Solusi ditawarkan

Dengan adanya kebutuhan dunia yang saat ini mengarah pada energi bersih, Lee menilai seluruh dunia harus turut serta mempertimbangkan perlindungan pekerja. Hal tersebut dinilai bisa dilakukan dengan menegakkan ketentuan perdagangan dan mematuhi pada hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja.

"Dan kita harus berkoordinasi dengan negara-negara yang berpikiran sama untuk memastikan bahwa kita tidak terisolasi dalam pekerjaan ini," tandasnya.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bisa Merugikan Eropa, Kesepakatan Dagang UE-AS Tuai Pro Kontra