Analisis: Mengapa PDIP Batal Mengusung Anies di Pilgub Jakarta 2024?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasangan bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung Wibowo dan Rano 'Si Doel' Karno, secara resmi mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, kemarin.
Pendaftaran tersebut turut dihadiri sejumlah elite partai berlambang banteng bermoncong putih itu antara lain Ketua DPP PDIP yang juga eks gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok alias BTP hingga Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Peristiwa kemarin juga mengakhiri spekulasi yang menyebutkan kalau PDIP akan mengusung mantan gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal cagub dan Rano sebagai bakal cawagub. Namun demikian, dalam keterangan pers kemarin, Rano membenarkan adanya wacana tersebut.
Mulanya, dia menceritakan pertemuannya dengan Anies di hari yang sama dengan pengumuman enam bakal cagub dan cawagub yang diusung PDIP pada Pilkada Serentak 2024.
"Sebetulnya gini, sudah lama Bang Anies mau ke rumah saya. Mau mampir ke warung. Kebetulan rumah saya sama Bang Anies nggak begitu jauh... Cuma belum ketemu waktu untuk ketemu," katanya.
Menurut Rano, Anies bukan berkunjung ke kantor DPP PDIP, melainkan ke gedung Badan Kebudayaan Negara PDIP. Lokasi gedung itu berada di belakang kantor DPP PDIP.
"Ngapain? Ngobrol. Ngobrol aja. Tentang apa? Tentunya teman-teman tahulah ada wacana saya sama Bang Anies. Ya kita ngobrol 'Bang kalau kita jadi apa yang kita lakukan?' ya ngobrol saja. Normal-normal saja sebetulnya," ujar Rano.
"Artinya, keputusannya, tidak saya dengan Bang Anies. Tapi bukan berarti terus kita tidak menjadi teman. Beliau sangat men-support," lanjutnya.
Pilihan rasional PDIP
Menyikapi keputusan PDIP, Musfi Romdoni selaku analis sosial-politik Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai PDIP memiliki banyak pengalaman berharga yang membuat partai itu trauma mengusung kandidat non-kader.
"Jangankan non-kader, kandidat yang jelas-jelas tumbuh berkembang di PDIP saja dapat berkhianat," katanya kepada CNBC Indonesia, kemarin.
Menurut Musfi, meskipun elektabilitas Anies paling tinggi dan merupakan pilihan rasional PDIP kalau ingin menang di Jakarta, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri tidak ingin ambil risiko nantinya Anies meninggalkan mereka. Apalagi PDIP dan Anies terlibat ketegangan sejak Pilgub Jakarta 2017.
"Kalau bicara proyeksi jangka panjang, mengusung Anies di Jakarta justru dapat berdampak buruk untuk PDIP," ujar Musfi.
Pertama, lanjut dia, basis suara PDIP akan berkurang karena memiliki riwayat resistensi dengan Anies. Basis suara PDIP adalah kelompok nasional atau kelompok kiri-tengah, sangat berbeda dengan basis pendukung Anies yang didominasi kelompok kanan.
Kedua, menurut Musfi, kalau pun Anies menang, itu akan menutup sinar-sinar kader PDIP lainnya. Apalagi tentu PDIP ingin bertarung lagi di Pilpres 2029 sehingga mereka perlu menyiapkan kadernya dalam lima tahun ke depan.
"Nah, masalahnya kan di Anies yang bukan kader PDIP dan punya riwayat kerap lompat pagar," kata Musfi.
Lebih lanjut, dia mengatakan, di dunia politik praktis, Anies disebut dengan ronin atau samurai tak bertuan. Ronin ini adalah jenis samurai yang dihindari karena sosoknya yang sulit dipegang.
"Ketika akan diusung dengan Rano Karno kemarin, ada yang menyebutkan kalau Anies ditanya apakah akan berbaju PDIP, tapi Anies menolak. Setelah itu PDIP memutuskan batal mengusung Anies, kemudian muncullah nama Pramono," ujar Musfi.
(miq/miq)