Internasional

Jepang Gembira-China Merana, Beda Nasib 2 Tetangga Usai Pandemi

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
27 August 2024 20:00
Ilustrasi bendera Jepang dan China
Foto: Ilustrasi bendera Jepang dan China
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini, Jepang berada di posisi teratas sebagai destinasi terbaik untuk berwisata. Bahkan Negeri Sakura disinyalir akan menyambut jumlah wisatawan yang memecahkan rekor pada tahun 2024.

Namun hal ini tak terjadi di China. Negeri Tirai Bambu itu menghadapi kenyataan bahwa jumlah pelancong internasional yang masuk ke negaranya tidak semasif seperti di Jepang.

Sebagai informasi, kedua negara mencabut pembatasan perbatasan terkait Covid relatif terlambat - Jepang pada Oktober 2022 dan China pada Januari 2023 - tetapi lintasan pemulihan pascapandemi mereka telah berbeda sejak saat itu.

Jumlah Kedatangan Pelancong

Menurut Administrasi Imigrasi Nasional China, sebagaimana dilansir CNBC International, permintaan untuk mengunjungi negara tersebut sedang meningkat. Data mereka mengumumkan peningkatan 130% year-on-year dalam jumlah pengunjung asing dari Januari hingga Juli.

Seorang perwakilan dari situs web perjalanan Trip.com mengatakan bahwa perjalanan musim panas ke China juga meningkat, di mana pemesanan masuk berlipat ganda sejak musim panas lalu.

Namun, kedatangan masih jauh di bawah tingkat sebelum pandemi. Pada tahun 2019, Cina menyambut sekitar 49,1 juta pelancong. Namun hingga Juli tahun ini, baru hanya sekitar 17,25 juta orang asing telah tiba di China, menurut media pemerintah negara tersebut.

Sementara di Jepang, lebih dari 3 juta pelancong internasional telah berkunjung setiap bulan sejak Maret. Jumlah ini jauh di atas level tahun 2019.

Joydeep Chakraborty, kepala strategi dan investasi di aplikasi perjalanan Asia Tenggara Traveloka, mengatakan daya tarik budaya Jepang dan status "it" negara saat ini menjadi salah satu faktor pelancong datang ke sana.

"Pemerintah telah lama berfokus untuk menjadikan Jepang sebagai tujuan wisata utama melalui upaya pro-pariwisata, seperti meningkatkan pengalaman pelancong dan menyederhanakan proses perjalanan bagi pengunjung internasional," katanya, seperti dikutip CNBC Travel.

Upaya ini kemudian dipercepat oleh depresiasi yen. "Nilai tukar USD/JPY [berubah] dari sekitar 140 pada Januari 2024 menjadi lebih dari 160 pada Juli 2024, menjadikan Jepang lebih terjangkau," kata Chakraborty.

Meski begitu, "overtourism" di Jepang kembali menjadi berita utama, karena banyak orang memadati kuil-kuil terkenal di Kyoto dan berebut tempat selama musim puncak bunga sakura.

Pasar tenaga kerja negara itu, salah satu yang terketat di dunia maju sebelum pandemi melanda, tengah berjuang keras untuk mengimbanginya. Tahun ini, 85% operator perjalanan dan perhotelan membatasi jam operasional karena kekurangan tenaga kerja, menurut Serikat Pekerja Federasi Industri Jasa & Pariwisata Jepang.

Alasan Menurunnya Minat Pelancong Kunjungi China

Kapasitas penerbangan ke China masih di bawah level sebelum pandemi dari banyak negara, terutama dari Amerika Serikat (-77%), menurut perusahaan analisis maskapai penerbangan Cirium.

Namun, ketegangan geopolitik juga berdampak buruk, menurut jaringan kebijakan East Asia Forum.

"Pemerketatan aturan sosial oleh pemerintah China berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi wisatawan asing di China," demikian bunyi artikel di situs webnya yang berjudul 'Kebijakan bebas visa saja tidak akan menghidupkan kembali pariwisata masuk China'.

Perluasan kebijakan bebas visa China memacu permintaan untuk berkunjung. Sekitar 58% wisatawan yang datang pada paruh pertama tahun 2024 berasal dari negara-negara dengan pengaturan tersebut, menurut Administrasi Imigrasi Nasional.

Namun, laporan Pew Research Center menunjukkan bahwa, di antara 35 negara yang disurvei, lebih dari separuhnya memiliki pandangan yang tidak baik terhadap China.

Menurut laporan Juli, beberapa negara dengan pengeluaran perjalanan terbesar di dunia - seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Prancis - sebagian besar memiliki pandangan negatif terhadap China.

Pandangan positif China dalam laporan tersebut tertinggi di Afrika sub-Sahara dan juga Asia, meskipun pendapat beragam di Asia.

"Pandangan cenderung paling positif dan paling tidak positif di kawasan Asia-Pasifik - lebih positif di negara-negara berpendapatan menengah seperti Malaysia dan Thailand, dan lebih negatif di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan," demikian pernyataan laporan tersebut.

Kesulitan Bepergian di China

Masalah bepergian di China mungkin juga membuat sebagian orang tetap di rumah.

Sejak pandemi, China telah menerapkan lebih banyak sistem pembayaran dan pemesanan daring, yang menyebabkan sakit kepala bagi pelancong asing yang tidak terbiasa dengan perangkat lunak China yang populer.

Mengatasi masalah tersebut sangat penting untuk menarik kembali pelancong asing, menurut Songshan Huang, seorang profesor di Universitas Edith Cowan Australia, dalam Forum Asia Timur.

"Memesan tiket kereta api berkecepatan tinggi atau tiket masuk ke tempat wisata populer mengharuskan penggunaan program tertanam WeChat," tulisnya.

"Banyak tempat usaha yang secara eksklusif menerima WeChat Pay atau AliPay, sehingga membuat wisatawan asing berada dalam kesulitan jika mereka hanya mengandalkan uang tunai atau kartu kredit."


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Halau China, Filipina Izinkan Jepang Kerahkan Pasukan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular