Muncul Fenomena Restoran di China Banting Harga, Ada Apa?

Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
Kamis, 22/08/2024 21:15 WIB
Foto: Pelanggan makan di restoran karena Beijing tidak lagi mewajibkan orang menunjukkan hasil tes asam nukleat negatif sebelum memasuki tempat umum pada 6 Desember 2022 di Beijing, China. (Getty Ima/China News Service)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren baru diskon harga terjadi pada sejumlah bisnis makanan dan minuman (F&B) China. Potongan harganya beragam, mencapai 50% dari yang dijual sebelumnya.

"Harganya turun jadi sekitar setengah dari harga sebelumnya. Saat saya makan di sana pada tahun 2022, rata-rata biaya 150 yuan per orang," kata Sammy Chen, pelanggan dari sebuah restoran hotpot, dikutip dari Channel News Asia, Kamis (22/8/2024).

"Namun tahun ini, tiap orang hanya perlu mengeluarkan kurang dari 100 yuan," imbuhnya.


Selain itu, Hefu Noddle mematok harga 16 dan 29 yuan per mangkuk mie. Harga ini jauh dari saat pertama didirikan tahun 2012, yakni 40 yuan hingga 50 yuan.

Restoran makanan cepat saji asing juga mengikuti tren tersebut. Burger King, misalnya, memangkas harga makanan sepertiga dari biasanya menjadi 9,9 yuan.

Dengan potongan harga besar tersebut, Chen mengatakan berhasil menarik banyak pelanggan. Restoran terus penuh dan banyak antrean selama jam-jam sibuk.

Meski disambut baik konsumen, pengamat menyebut perang harga ini menjadi tidak sehat. Sebab mereka perlu memastikan standar layanan dan kualitas makanan dan reputasi tetap terjaga.

"Pemenangnya adalah mereka yang bisa beradaptasi dengan tren industri baru dan responsif dengan permintaan konsymen dengan level layanan yang baik," ungkap pemimpin pekerjaan konsumen dan ritel McKinsey Asia, Daniel Zipser.

Dia juga menambahkan loyalitas dan keuntungan juga belum jelas. Khususnya bisnis yang mematok harga lebih rendah.

Salah satu cara untuk tetap bertahan adalah dengan inovasi. Pendiri konsultan digital ChoZan di China, Ashley Dudarenok mengatakan pemain F&B tengah mencari cara untuk beradaptasi.

Salah satunya dengan membuka toko waralaba. Selain juga banyak bisnis yang memiliki melakukan ekspansi ke pasar baru di luar China.

Namun dua pilihan itu bukan tanpa tantangan. Waralaba butuh standar tinggi, sementara ekspansi bisnis mengharuskan mereka beradaptasi dengan budaya baru.

"[Waralaba] mungkin ekspansi lebih cepat dengan tekanan keuangan lebih sedikit dari operasi langsung. Namun menuntut standar lebih tinggi dalam manajemen rantai pasokan dan perlu melakukan pengawasan," jelas dia.

Disebutkan, perang harga hingga diskon besar-besaran yang terjadi di China ini telah menimbulkan berbagai reaksi di media sosial. Warganet menjadikan fenomena ini sebagai topik dari sisi yang menggelikan. "Harga hotpot turun lebih cepat daripada suhu kuahnya," canda seorang netizen.

Apalagi, di saat bersamaan, rantai restoran cepat saji asing juga melakukan hal yang sama. Jaringan restoran cepat saji AS Burger King misalnya, dikabarkan telah mematok harga burger khasnya sebesar 9,9 yuan per buah, hampir sepertiga dari harga aslinya, mengacu laporan Global Times pada tanggal 4 Agustus.

CNA melansir laporan Reuters di mana pada bulan Mei, Starbucks telah meningkatkan jumlah kupon diskon. Meski, pada Januari, CEO Starbucks China Belinda Wong mengatakan, ppihaknya  "tidak tertarik untuk memasuki perang harga".

Para analis mengemukakan, diskon harga besar-besaran ini untuk menarik pelanggan di tengah kesulitan ekonomi dan pasar tenaga kerja China, yang kemudian menekan daya beli atau memangkas  pengeluaran konsumen. 


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pengusaha Hotel Tertekan, Apartemen & Homestay "Ngamuk"