PPN 12% Bikin Warga RI Nangis-Pemerintah Mending Evaluasi Insentif Ini

M Rosseno Aji Nugroho, CNBC Indonesia
Senin, 19/08/2024 21:35 WIB
Foto: detik.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan ekonom menyarankan pemerintah mengevaluasi pemberian insentif fiskal kepada perusahaan besar, terutama yang bergerak di bidang ekstraktif. Penarikan pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut dinilai bisa menjadi sumber pemasukan bagi penerimaan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengatakan pemerintah memang punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan level rasio perpajakan. Namun, bukan berarti pemerintah harus menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan semakin melemahkan daya beli masyarakat.

Deni mengatakan banyak cara untuk menaikkan rasio perpajakan itu, salah satunya dengan mengevaluasi pemberian insentif fiskal kepada industri ekstraktif.


"Pemberian insentif fiskal misalnya dalam kasus hilirisasi, kita memberikan banyak insentif bagi perusahaan asing yang bergerak di sektor smelter," kata Deni dalam diskusi di kantornya, Jakarta, Senin, (19/8/2024).

Deni menilai pemberian insentif fiskal itu tidak sepadan dengan manfaat yang diterima oleh pemerintah. Buktinya, kata dia, pemberian insentif kepada perusahaan-perusahaan itu tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari 5%.

"Jadi itu bertolak belakang dengan apa yang disampaikan pemerintah bahwa ya pertumbuhannya tinggi, ekspornya tinggi, tapi pertumbuhan ekonominya tidak tinggi-tinggi banget," ujarnya. "Jadi review terhadap insentif fiskal itu harus juga dilakukan," imbuhnya.

Senada, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menyoroti rencana pemerintah menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada 2025. Sebagaimana diketahui, pemerintah memasukan rencana penerapan cukai ini dalam RAPBN 2025 sebagai salah satu sumber penerimaan cukai.

Wahyudi mengatakan pengendalian terhadap minuman manis itu memang penting. Namun, kata dia, Kementerian Keuangan sebenarnya tahu ada sektor lain yang berpotensi memberikan penerimaan pajak lebih besar, yakni pajak kepada industri ekstraktif dan pajak kekayaan. Namun, dia menyesalkan kebijakan ini tidak dilakukan.

"Penerapan windfall tax, kemudian pajak royalti batu bara, dan pajak kekayaan itu juga tidak dielaborasi," kata dia.

Meski begitu, Wahyudi menilai penerapan pajak seperti windfall tax alias pajak yang dikenakan atas penerimaan perusahaan yang ketiban untung pada saat commodity boom hampir mustahil. Dia menilai kebijakan seperti itu cenderung tidak menguntungkan secara politik.

"Tapi ini tidak mungkin dilakukan secara politik ya," ucap dia.


(rsa/wur)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sengketa Pulau Tujuh, Gubernur Babel Gugat Mendagri