
79 Tahun Merdeka, Nasib Minyak RI: Produksi Ambles, Investasi Lesu

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia pada 17 Agustus 2024 ini memasuki usia 79 tahun. Di tengah usia ke-79 tahun ini sayangnya industri hulu minyak dan gas bumi (migas) mengalami kemunduran.
Hingga semester I 2024, produksi terangkut (lifting) minyak RI rata-rata berada di bawah level 600.000 barel per hari (bph). Berdasarkan laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), lifting minyak RI selama Januari-Juni 2024 tercatat "hanya" mencapai 576 ribu bph, atau 91% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar 635 ribu bph.
Begitu juga dengan realisasi salur gas, selama semester I 2024 tercatat "hanya" mencapai 5.301 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) tau 92% dari target dalam APBN 2024 sebesar 5.785 MMSCFD.
Tak hanya produksi minyak dan gas bumi, investasi migas pun mengalami kondisi serupa. Investasi hulu migas pada semester I 2024 hanya mencapai US$ 5,6 miliar atau 31,6% dari target APBN 2024 US$ 17,7 miliar. Bahkan, hingga akhir 2024 ini investasi migas diperkirakan hanya mencapai sekitar US$ 15,7 miliar.
Lesunya investasi di sektor hulu migas RI ini bahkan turut membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan geram. Bahkan, Luhut tak segan menegur Menteri Keuangan karena dianggap mengeluarkan kebijakan yang salah, sehingga membuat investasi hulu migas dalam negeri tak bergairah.
Tak hanya itu, Luhut bahkan menyinggung tak ada investasi baru selama 30 tahun terakhir di industri hulu migas.
"Jadi, saya juga bilang ke kolega kita dari Menteri Keuangan, ada yang salah dengan kalian. 30 tahun tidak ada investasi, pasti ada yang salah dengan regulasinya. Kita harus mengubah atau memperbaiki regulasi ini," tutur Luhut dalam Supply Chain & National Capacity Summit 2024 di Jakarta, Rabu (14/08/2024).
Menurut Luhut, pihaknya telah melaporkan temuan tersebut kepada Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sehingga, rendahnya iklim investasi migas di Indonesia dapat segera diatasi.
"Saya meminta mereka (gugus tugas) untuk mengidentifikasi mengapa selama 30 tahun terakhir kita memiliki sangat sedikit, mungkin nol investasi baru di bidang migas. Jawabannya adalah ini ada 11 hal yang harus kita perbaiki," ujarnya.
Faktor-Faktor Penyebab
Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo membeberkan sejumlah faktor yang menjadi penghambat investasi hulu migas di Indonesia.
Hadi mengungkap beberapa hambatan yang memberatkan kinerja investasi hulu migas di Indonesia. Salah satu contohnya seperti peraturan yang berkaitan dengan perpajakan hulu migas.
"Masih ruwet di fiscal term terkait pajak. Akhir akhirnya, muncul pajak pajak lain di luar ketentuan PSC sehingga membuat galau investor, dengan hitungan yang kadang-kadang tidak masuk akal," kata Hadi.
Oleh sebab itu, Hadi mengusulkan agar aturan terkait perpajakan hulu migas dapat disederhanakan. Bahkan ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan lex specialis pada aturan perpajakan.
"Tax Regime perlu disederhanakan dan dikembalikan pada konsep lex specialis di mana pajak migas yang 44% itu sudah mencakup semua pajak. Pajak pajak saat eksplorasi, pajak pajak tubuh bumi, cukup membuat repot aplikasi di lapangan," katanya.
Senada, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto juga berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali penerapan asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam perpajakan hulu migas.
Sebab, potensi migas yang Indonesia tawarkan kepada para investor global masuk dalam kategori high risk dengan reward yang belum pasti. Hal ini terjadi lantaran beberapa potensi tersebut berada di area laut dalam, jauh dengan infrastruktur, dan kategori lapangan yang sudah tua.
"Nah, di dalam kondisi seperti itu, sejumlah masalah seperti birokrasi perizinan yang lama dan berlapis, lalu sistem perpajakan yang tidak lagi lex specialis dan tidak bisa berlakunya assume & discharge, lalu regulasi, kebijakan dan keputusan-keputusan yang kontraproduktif terhadap investasi, hal-hal seperti itu yang cukup mendominasi kita selama kurang lebih 2 dekade terakhir ini memang," katanya.
Sementara, Pengamat dan Praktisi Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tumbur Parlindungan menilai salah satu faktor utama yang menyebabkan turunnya investasi hulu migas di Indonesia adalah contract sanctity atau kesucian contract. Terutama yang telah disepakati bersama antara pemerintah dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
"Kepastian hukum dalam berinvestasi banyaknya aturan-aturan yang kadang kala bertentangan dengan PSC agreement atau perjanjian lainnya. Salah satunya perubahan harga gas tanpa melihat keekonomian dari lapangan/blok yang dikelola," ujarnya.
Data
Berikut data realisasi produksi minyak RI selama 2014-2024, berdasarkan data Kementerian Keuangan RI:
2014: 794 ribu bph
2015: 778 ribu bph
2016: 829 ribu bph
2017: 804 ribu bph
2018: 778 ribu bph
2019: 746 ribu bph
2020: 707 ribu bph
2021: 660.300 bph
2022: 612.300 bph
2023: 604.710 bph
2024 (semester I): 576 ribu bph.
Sementara untuk data realisasi investasi hulu migas, berdasarkan data SKK Migas, sebagai berikut:
2014: US$ 19,2 miliar
2015: US$ 14,7 miliar
2016: US$ 11,6 miliar
2017: US$ 10,3 miliar
2018: US$ 10,9 miliar
2019: US$ 11,7 miliar
2020: US$ 10,5 miliar
2021: US$ 10,9 miliar
2022: US$ 12,1 miliar
2023: US$ 13,7 miliar
2024 (semester I): US$ 5,6 miliar.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Komitmen Eksplorasi Migas RI Tembus Rp 15 Triliun
