
Petani Lapor Sawah Kering-Batal Panen, Produksi Beras RI Lenyap Segini

Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil monitoring Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, sebanyak 51% zona musim (ZOM) di Indonesia masuk musim kemarau. Di sisi lain, BMKG mengeluarkan peringatan dini kekeringan meteorologis yang berpotensi melanda wilayah-wilayah di Indonesia.
Bahkan, beberapa wilayah kini telah menetapkan status siaga darurat kekeringan. Yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Lalu bagaimana dampak kekeringan terhadap produksi beras nasional?
Ketua Umum Asosiasi Benih & Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, berdasarkan laporan petani yang tergabung dalam jaringan AB2TI, kekeringan memang melanda sawah-sawah di sejumlah lokasi di Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), juga Jawa Barat (Jabar).
Misalnya, jaringan petani di Karawang yang melaporkan ada sekitar 157 hektare (ha) lahan sawah terdampak kekeringan. Hanya saja Dwi Andreas mengaku tak bisa memastikan berapa kontribusinya terhadap luasan sawah di Karawang.
"Barusan laporan ada temuan, sawah-sawah yang tadah hujan di Jabar, Jatim, dan Jateng mengalami kekeringan. Di Jatim misalnya kemungkinan akan mengalami penurunan produksi 10-30%. Jawa Barat hampir sama. Laporan dari Indramayu, Karawang, mengalami kekeringan," kata Dwi Andreas kepada CNBC Indonesia, Rabu (7/8/2024).
"Yang non-tadah hujan tergantung ketersediaan air. Sungai-sungai sudah mulai mengering, petani mulai kesulitan memanfaatkan pengairan dari sungai. Di Jawa Tengah di Klaten itu tanaman padinya dibabat dijadikan pakan ternak," tambahnya.
Menurut Dwi Andreas, di waktu-waktu saat ini, fase tanaman padi memang beragam. Ada yang sudah beberapa minggu, ada yang sudah 1 bulan. Dan karena kekeringan, tanaman padi itu kemudian dibabat habis.
"Kalau perhitungan saya, sampai akhir tahun ini akan terjadi penurunan produksi 6-6,5%. Kalau 6% saja penurunan kira-kira setara 1,8 juta ton beras. Mungkin hampir 2 juta ton," kata Dwi Andreas.
Terkait potensi La Nina akan melanda Indonesia di saat puncak musim kemarau, Dwi Andreas mengatakan, tidak akan berdampak bagi lahan-lahan sawah di Jawa. Padahal, La Nina kali ini diharapkan menjadikan musim kemarau tahun ini kemarau basah. Karena adanya peningkatan hujan efek La Nina.
"Nggak, nggak ada kemarau basah. Di Jawa nggak ada dampaknya La Nina. Mungkin dampaknya bisa di luar Jawa, di Sumatra dan Kalimantan," ucap Dwi Andreas.
Seperti diketahui, BMKG resmi menyatakan, fenomena El Nino sudah berakhir. Indeks ENSO disebut berada pada kondisi Netral. Selanjutnya, BMKG memperkirakan, kondisi/ fase Netral ENSO berpeluang menuju La Nina mulai periode Agustus 2024. Perkiraan ini diklaim sejalan dengan proyeksi beberapa pusat iklim dunia.
Artinya, El Nino yang melanda RI dan memicu kekeringan serta suhu panas ekstrem di musim kemarau tahun 2023 akan digantikan La Nina. Yang diprediksi bakal masuk RI ketika sebagian wilayah mengalami puncak musim kemarau tahun 2024.
Lalu benarkah tak ada kemarau basah tahun ini? Meski, sampai saat ini, BMKG belum secara resmi memastikan apakah Indonesia sudah memasuki fase La Nina atau tidak.
Sebagai informasi, ketika terjadi La Nina, hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
"Dilihat saja dulu. Bila La Nina lemah, maka tidak ada dampak. Bila La N kuat, akan berdampak," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto saat dikonfirmasi CNBC Indonesia, Rabu (7/8/2024).
![]() Analisis Dinamika Atmosfer BMKG edisi 4 Agustus 2024. (Dok: BMKG) |
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Ingatkan Neraka Iklim di Depan Mata, Ancam Produksi Beras RI?
