Waduh! Pengusaha Mobil Cemas Penjualan Makin Jatuh, Ini Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Penjualan mobil di Indonesia selama enam bulan awal 2024 belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil baru selama Januari-Juni 2024 hanya 408.012 unit. Jumlah ini turun jauh sebanyak 19,4% dibanding periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebanyak 506.427 unit.
Hasil riset dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menemukan, ternyata penurunan penjualan itu dikarenakan daya beli yang makin melemah. Diam-diam terjadi kondisi di mana kenaikan pendapatan per kapita tidak mampu mengejar kenaikan harga mobil di dalam negeri.
"Makanya kami sampaikan kepada teman-teman produsen untuk bisa lebih melihat situasi daya beli masyarakat, karena dikhawatirkan (penjualan) bisa semakin tertekan," kata Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara Selasa (16/7/2024).
Untuk menekan harga bukan hanya berasal dari pabrikan, namun juga komponen lain yang berkontribusi dalam pembentukan harga. Salah satu komponen berkontribusi yang paling besar terhadap harga mobil adalah pajak. Seperti Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang menjadi hak dari pemerintah daerah.
"Harga mobil ini juga diskusi dengan Pemda (pemerintah daerah), karena BBNKB itu menjadi isu. itu (pajak) yang membuat harga mobil ini luar biasa mahal, karena bila ditotal bisa lebih dari 30-40 persen itu adalah bentuk pajak. Namun mereka tidak mau kehilangan karena rata-rata pemerintah provinsi 60-80 persen PAD (Pendapatan Asli Daerah) nya dari pajak kendaraan bermotor," kata Kukuh.
Hal itu yang membuat harga mobil kian mahal dari waktu ke waktu. Di sisi lain, Pengamat Otomotif LPEM UI, Riyanto menyoroti kenaikan pendapatan masyarakat tidak sebesar naiknya harga mobil.
"Gap antara harga mobil (baru) dan pendapatan per kapita, harga Avanza tahun 2013 itu berkisar Rp 170 jutaan, sekarang Rp 255 jutaan. Ini menandakan ada masalah, kenaikan lebih besar dari pada pendapatan per kapita," ujar Riyanto di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, beberapa waktu lalu.
(dce)