Dolar Betah di Rp 16.000, Dompet Warga RI Terancam

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
15 July 2024 08:40
Penukaran uang di tempat penukaran uang atau Money Changer Tri Tunggal kawasan Blok M Plaza, Jakarta, Senin, (1/4/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Penukaran uang di tempat penukaran uang atau Money Changer Tri Tunggal kawasan Blok M Plaza, Jakarta, Senin, (1/4/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus di kisaran Rp 16.000/US$, diiringi dengan tren suku bunga acuan tinggi, dapat membuat daya beli masyarakat melemah hingga aktivitas ekonomi di dalam negeri berpotensi semakin loyo dalam jangka waktu panjang.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS baru-baru ini memang mulai mengalami penguatan, meski masih jauh di atas level Rp 15.000/US$. Rupiah baru mampu menyentuh level terkuat sejak 1,5 bulan terakhir di angka Rp16.135/US$ pada Jumat (12/7/2024).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan mengatakan, efek samping dari kondisi itu telah menyebabkan sektor tenaga kerja tengah mengalami masalah, terutama akibat maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

PHK dan tak membaiknya gaji atau pendapatan kelas pekerja itu sendiri dipicu oleh pertumbuhan barang modal dan bahan bahan baku yang cenderung menurun, sehingga ekspansi perusahaan kini tengah terhambat, yang artinya kapasitas produksi menurun.

"Karena faktor depresiasi rupiah yang mahal. Jadi korporasi itu akan menahan untuk ekspansi. Kalau itu terjadi, maka akan berpengaruh terhadap sektor tenaga kerja," kata Abdul Manap dikutip Kamis (11/7/2024).

Berdasarkan Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024, jumlah pekerja ter PHK telah mencapai 27.222 orang Angka in meningkat 48,48% dari catatan Januari-Mei 2023 sebanyak 18.333 orang. Akibatnya maraknya PHK, pekerja informal yang pendapatannya tak menentu pun meningkat di Tanah Air.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja informal hingga tahun ini masih mendominasi. Berdasarkan catatan per Februari 2024 persentasenya mencapai 59,15% dari total jumlah penduduk bekerja sebesar 142,18 juta orang. Sisanya, yakni 40,83% ialah berstatus pekerja formal.

"Meskipun sebetulnya ketika terjadi PHK kan orang tetap akan bekerja, tapi dia akan bekerja di sektor informal yang daya belinya itu relatif lebih fragile dibandingkan sektor-sektor yang formal. Kenapa formal lebih kokoh karena kan dia tiap bulan pasti ada gaji yang diterima dari perusahaan," ucap Abdul Manap.

Bagi pekerja formal, kenaikan gaji atau pendapatannya pun masih jauh lebih rendah dibanding tekanan harga bahan pangan pokok, yang tergambar dari tingginya level inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food beberapa bulan terakhir.

Inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food naik sejak Januari 2024 hingga mencapai level tertingginya pada Maret 2024 sebesar 10,33%, sebelum akhirnya turun pada Juni 2024 ke posisi 5,96%. Per Mei saja, level inflasi bahan pangan bergejolak masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan rata-rata gaji di Indonesia.

Mengutip catatan Bank Indonesia, kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara atau ASN pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5% dengan catatan untuk periode 2020-2023 tak ada kenaikan gaji ASN. Adapun, kenaikan UMR atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada 2020-2024.

Menurutnya, tekanan nilai tukar rupiah dan suku bunga tinggi BI yang saat ini di level US$ 6,25 menyebabkan perusahaan cenderung sulit menaikkan gaji para pekerjanya. Alhasil, lagi-lagi yang terdampak ialah daya beli masyarakat. Sebab, biaya produksi menjadi lebih mahal akibat beban bunga tinggi dan bahan baku dan modal terdampak depresiasi kurs.

"Pada saat aktivitas perusahaan menurun tidak serta-merta perusahaan itu akan menaikkan gajikan, meskipun ada kenaikan inflasi. Jadi secara tidak langsung pendapat orang itu tergerus, tergerus cukup tinggi, sehingga orang akan menahan belanja," ucap Abdul Manap.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pun telah merosot tiga bulan terakhir. Berdasarkan rilis BI terbaru per Juni 2024 IKK di level 123,3. Meski masih berada pada level optimis (>100), angka IKK itu turun dari posisi Mei 2024 yang sebesar 125,2, bahkan anjlok dibanding posisi per April 2024 sebesar 125,2.

Pemerintah pun menganggap IKK yang anjlok tiga bulan terakhir dipicu oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus melemah beberapa hari terakhir. Kurs rupiah masih betah di level atas Rp 16.000/US$

"Itu kan biasanya kita lihat dari sentimen yang terjadi terhadap kurs. Kurs itu secara tidak langsung pengaruhi confidence bukan hanya pelaku investasi, bisnis, tapi juga termasuk rumah tangga," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu saat ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin lalu.

Febrio mengatakan, anjloknya IKK selama tiga bulan beruntun itu memang lebih banyak dipicu oleh kecenderungan kelas menengah yang menahan belanjanya saat nilai tukar rupiah masih tertahan. Oleh sebab itu, bila kurs rupiah kembali menguat ia meyakini angka indeks itu akan kembali naik.

"Kalau belanja kelas menengah kan enggak kecil-kecil, sehingga mereka ada perilaku optimismenya makanya kita senang kurs yang sekarang bisa kita lihat arah perbaikannya ini akan juga perbaiki arah sentimen ke depan untuk khususnya rumah tangga," ucap Febrio.

Per hari ini, rupiah masih terus bertengger di level atas itu, meninggalkan level Rp 15.000 pada awal April 2024 dan akhir Mei 2024. Dilansir dari Refinitiv, rupiah per pukul 10.34 WIB, Kamis (11/7/2024) diperdagangkan di angka Rp16.200 per US$.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Selama Rupiah Rp 16.000 dan Suku Bunga Tinggi, Warga RI Susah Belanja

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular