
Era Suku Bunga Tinggi Bakal Sangat Lama, RI Jangan Kebanyakan Impor!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren suku bunga tinggi di Amerika Serikat masih akan berlangsung dalam waktu yang lama. Menyebabkan potensi penguatan dolar AS terhadap mata uang lainnya, seperti nilai tukar rupiah, juga masih akan berlangsung lama.
Akibat tren suku bunga tinggi di AS tersebut, sebagaimana diketahui rupiah sempat terkapar di level atas Rp 16.500/US$. Meskipun per hari kemarin mampu menguat di level Rp16.365/US$ pada Rabu (3/7/2024). Tapi levelnya masih jauh di atas Rp 15.000 seperti asumsi makro dalam APBN 2024 sebesar Rp 15.000.
Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro mengatakan, tak heran bank sentral AS atau The Fed masih akan mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi ke depan, yang kini di level 5,25%-5,5% karena inflasi di negara itu belum mencapai target mereka, yakni di level 2%.
"Apapun tingkat inflasi selama masih di atas 2%, berarti itu belum di dalam target mereka," ujar Bambang dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Kamis (4/7/2024).
Bambang menekankan, meski suku bunga acuan Fed Fund Rate masih akan tinggi dalam waktu lama, tapi tidak ada potensi kenaikan yang berpotensi semakin melemahkan nilai tukar rupiah ke depan. Sebab, Ketua The Fed Jerome Powell telah memastikan hal tersebut.
"Yang paling penting dari pernyataan Jerome Powell tersebut adalah sangat kecil atau hampir tidak ada kemungkinan mereka menaikkan tingkat bunga. Karena ini yang bisa menimbulkan tekanan lebih besar lagi terhadap rupiah. Jadi, paling tidak ada satu hal positif yang bisa diambil," tegas Bambang.
Target inflasi AS masih akan sulit menyentuh level 2% karena aktivitas ekonomi global menurutnya masih belum kondusif. Diwarnai oleh masih kuatnya konflik geopolitik yang mengganggu rantai pasokan global. Tidak hanya konflik bersenjata, melainkan juga dipicu perang perdagangan antara AS dan China.
"Jadi, perkiraan saya, mereka meskipun mengeluarkan pernyataan yang cukup menyejukkan, tidak menimbulkan kepanikan, tetapi mereka juga tidak bisa berjanji terlalu optimis bahwa mereka akan segera atau akan cepat memotong suku bunga," tutur Bambang.
Atas dasar kondisi itu, Bambang menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk bersiap melakukan langkah-langkah antisipatif dari dampak buruk berlangsung lamanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, seperti naiknya berbagai harga barang yang dipenuhi kebutuhannya dari impor dan terkereknya tingkat utang luar negeri.
"Kalau dari sisi perusahaan, menurut saya harus mulai muncul suatu kesadaran di perusahaan-perusahaan di Indonesia, yaitu apa? Harus terus mencoba menumbuhkan atau menjaga yang namanya natural hedging," ujar Bambang.
Menurutnya, langkah antisipatif melalui natural hedging atau lindung nilai secara alamiah ini bisa berasal dari dua sisi. Pertama ialah memperbanyak produk yang diekspor sehingga pemasukannya dalam mata uang hard currency, atau dolar AS bisa semakin banyak, sehingga memperkuat pasokan dolar di dalam negeri.
Kedua, sisi lainnya ialah melalui cara pengurangan input produksi yang berasal dari impor. Artinya, penggunaan produk-produk dari dalam negeri menjadi sangat penting, dan pemerintah juga harus bisa memperkuat industri yang memproduksi bahan baku dan penolong di dalam negeri.
Selain itu, yang penting juga terkait impor ini ialah mengurangi impor jasa yang menyebabkan devisa Indonesia terus keluar. Menurutnya, ini bisa ditangani bila pemerintah betul-betul fokus memperkuat pariwisata di dalam negeri, seperti halnya yang dilakukan Thailand.
"Juga penting bagaimana kita mulai mengendalikan kebutuhan dolar yang cukup banyak untuk impor jasa. Karena neraca jasa kita itu defisitnya cukup besar yang tidak bisa ditutupi hari ini oleh surplus di neraca perdagangan barang," tutur Bambang.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Impor RI Januari 2024 Capai US$18,51 M, Naik Tipis 0,36%