
Selesaikan Sengketa di WTO, RI & Uni Eropa Tawar Menawar

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan ada skema yang ditawarkan untuk menyelesaikan gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO)
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, Idris Sihite menyampaikan, skema itu Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) sebagai cara penyelesaian di luar jalur formal.
"Ada skema yang ditawarkan yang namanya CEPA ini ya. Jadi kayak penyelesaian sengketanya di luar proses formal yang sekarang berjalan," jelas Idris saat ditemui usai acara Diskusi Publik di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Dengan adanya skema CEPA ini, pemerintah Indonesia berharap Uni Eropa komitmen dengan apa yang sudah disepakati. Sehingga, Indonesia bisa bebas mengolah sumber daya alam dalam negeri tanpa bersinggungan dengan kompetisi perdagangan di dunia.
"National interest kita lebih dominan. Tidak bermaksud untuk kontra dengan free trade ya. Tapi tadi tuh national interest dan kita punya yang namanya kewenangan secara penuh atas pengolahan sumber dari alam tanpa mengesampingkan kompetisi yang fair," tandasnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI membeberkan bahwa saat ini terdapat lima kasus kebijakan Indonesia yang bersinggungan denganĀ Uni Eropa di WTO.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengatakan bahwa kasus pertama antara Indonesia dengan UE adalah perihal kebijakan pelarangan ekspor nikel mentah dari Indonesia yang 'dijegal'.
"Dan kita tahu, sebetulnya ada lima kasus di WTO. Antara kita dengan European Union. Satu yang kasus nikel, itu yang diajukan oleh European Union," jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Kamis (13/6/2024).
Selain itu, Bara mengatakan kasus lainnya menyinggung perihal minyak sawit (CPO). Ada pula kasus stainless steel Indonesia di Morowali yang dikenakan bea masuk tambahan (countervailing duty).
"Setelah itu kita mengajukan empat kasus. Yang kedua itu soal CPO. Yang kemudian ketiga itu soal stainless steel. Itu yang baja yang dihasilkan oleh pabrik di Morowali yang dikenakan countervailing duty," tambahnya.
Bara mengatakan, kasus tersebut lantaran UE menuding produksi stainless steel di Indonesia itu hasil pemberian subsidi dari Pemerintah China. "Dan dikenakan dengan namanya transnational subsidy. Yang bagi mereka itu adalah sesuatu yang salah. Padahal itu menurut ketentuan WTO itu tidak diatur sama sekali," bebernya.
Kasus lainnya, lanjutnya, ada pula kasus yang diajukan oleh Indonesia perihal penerapan tarif biodiesel yang masuk ke UE. Terakhir, kasus perihal kasus turunan minyak sawit yakni fatty acid yang dikenakan anti dumping duty atau pengenaan bea masuk anti dumping.
"Kemudian yang keempat itu soal biodiesel. Itu juga kita ajukan. Karena mereka menerapkan tarif mengenai biodiesel kita yang masuk ke European Union market. Yang ke lima yang terakhir itu soal fatty acid. Fatty acid itu adalah turunan by-product dari CPO. Itu dikenakan anti-dumping duty oleh EU," ujarnya.
Bara mengatakan, posisi Indonesia dilematis lantaran sejatinya Indonesia harus menjaga hubungan baik dengan UE, namun di lain sisi Indonesia juga ingin menyelesaikan perlindungan CEPA.
"Ini cukup challenging ini hubungan kita dengan EU. Di satu pihak kita ingin menyelesaikan perlindungan CEPA ini. Comprehensive Economic Partnership Agreement. Di lain pihak kita juga ada lima kasus yang aktif di WTO ini," tandasnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Tak Yakin RI Bisa Menang Lawan Uni Eropa di WTO, Kenapa?