Masalah RI Makin Berat, Pemerintah Jokowi & Prabowo Tak Bisa Santai!
Jakarta, CNBC Indonesia-Ekonom senior Anny Ratnawati menyatakan penurunan pendapatan negara sebesar 7,1% (yoy) pada Mei 2024 dan defisit APBN mencapai 0,10% dari Produk Domestik Bruto patut diwaspadai. Dia menilai terdapat kombinasi situasi perekonomian terkini yang mengharuskan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meningkatkan kewaspadaan.
"Defisitnya memang sudah diperkirakan dalam dokumen APBN 2024, tapi yang membuat kita harus menaikkan alarm kewaspadaan kita lebih tinggi adalah karena defisit ini terjadi karena pendapatan negara yang turun," kata Anny dalam program Squawk Box dikutip pada Senin, (1/7/2024).
Pilihan Redaksi |
Anny mengakui kemungkinan terjadinya defisit tahun ini memang sudah diperkirakan sejak 2022. Ketika itu, kata dia, Indonesia tengah mendapatkan berkah dari kenaikan harga-harga komoditas di pasar global. Kenaikan ini membuat Indonesia mencatatkan penerimaan negara yang amat tinggi.
Namun, mantan Wakil Menteri Keuangan ini menilai ketergantungan perekonomian Indonesia kepada komoditas justru memunculkan risiko. Perekonomian Indonesia, kata dia, menjadi amat tergantung pada kondisi global. Seperti kondisi saat ini, dia mengatakan penerimaan negara merosot karena harga komoditas seperti Crude Palm Oil (CPO) juga merosot.
"Kenapa? Karena ketergantungan ekspor kita kepada komoditas ini bahaya, karena ini membuat kita sangat tergantung sekali pada konstelasi dari pertumbuhan ekonomi dunia dan pada situasi politik eksternal," kata dia.
Terlebih, Anny mengatakan penurunan penerimaan negara dari komoditas kali ini tidak hanya dipengaruhi oleh harga, namun juga dari sisi volume. Menurutnya, hal itu mengindikasikan bahwa masalah tidak hanya terjadi dari luar negeri, tapi juga dari sisi produksi domestik.
"Mengejutkan juga kalau kita lihat kelapa sawit itu tidak hanya dari sisi harga, tapi dari sisi volume ekspor kita juga turun, ini ada pengaruh eksternal tapi kita juga patut mengantisipasi dari sisi domestik," kata dia.
"Kalau kita tidak bergerak dari sisi mengandalkan komoditas, tidak lagi membicarakan pada produk turunannya, maka kita dalam situasi yang amat volatile dari sisi penerimaan," kata dia.
Anny melanjutkan penurunan penerimaan negara pada bulan Mei juga terjadi dari sisi minyak dan gas. Dia mengatakan penurunan itu menyebabkan penerimaan dari sisi pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi ikut turun. Padahal dalam kondisi nilai tukar rupiah yang sedang melemah, produksi migas ini bisa membantu.
"Padahal harga migas sebenarnya relatif tinggi dan kita sedang mengalami pelemahan rupiah," kata dia.
Anny menilai pemerintah patut mewaspadai kombinasi kondisi perekonomian tersebut. Dia memprediksi tren penurunan penerimaan ini masih akan berlanjut mengingat kondisi dunia yang belum sepenuhnya pulih.
"Ini harus disikapi agar tidak berlanjut, mudah-mudahan di bulan depan pendapatan negara kita mulai mengalami kenaikan," kata dia.
(rsa/mij)