Akankah Ada Keajaiban Dolar Balik ke Level Rp 15.000?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berhasil menjauhi level Rp16.400/US$ dalam dua hari terakhir. Mata uang Garuda kembali menguat terhadap dolar AS pada penutupan kemarin, Selasa (26/6/2024), sebesar 0,12% ke angka Rp 16.370/US$. Kendati menguat, rupiah diperkirakan sulit kembali ke level Rp 15.000/US$.
Myrdal Gunarto, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia, mengatakan pihaknya melihat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih akan bergerak di kisaran US$ 16.132 - US$ 16.500 hingga sebulan kedepan.
"Kami masih melihat dolar Rp 16.500 merupakan level resisten psikologis terkuat bagi pergerakan USD-IDR saat ini," ungkap Myrdal kepada CNBC Indonesia, Selasa (26/6/2024).
Menurutnya, heavy money outflow atau arus modal keluar di pasar keuangan domestik, baik pasar saham maupun obligasi menjadi penyebab utama pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini, terutama pasca keputusan moneter dari the Fed yang mengisyaratkan "high for longer".
Di sisi lain, ada kekhawatiran kondisi defisit fiskal maupun utang pemerintah Indonesia membengkak jika pemerintahan baru nanti menerapkan kebijakan belanja agresif untuk menerapkan kebijakan populis makan siang gratis bagi pelajar, keberlanjutan program infrastruktur nasional maupun IKN, dan ekonomi hijau juga Smelter Industri.
"Kekhawatiran mengenai kondisi fiskal Indonesia sudah dirilis oleh Morgan Stanley dengan mendowngrade rating pasar saham Indonesia dari Hold menjadi Underweight, sehingga kemudian mendorong investor lain untuk melakukan aksi "sell" on saham Indonesia dan membuat IHSG break ke level di bawah 7.000," katanya
Terbukti, selama periode 01-21 Jun-24, pasar saham Indonesia diwarnai aksi jual bersih sebanyak US$121,6 juta oleh investor global. Investor asing tercatat mengurangi kepemilikan di Surat Utang Negara dari Rp 806,97 triliun pada 31 Mei 2024 menjadi Rp 805.92 triliun pada 14 Juni 2024.
"Jadi wajar saja terjadi pelemahan Rupiah terhadap US$ pada bulan ini," kata Myrdal.
Dia pun menilai langkah intervensi yang dilakukan BI di pasar FX domestik dan pasar obligasi sekunder maupun aksi operasi moneter menjual SRBI masih belum mampu menahan posisi nilai tukar yang telah menembus level Rp 16.400/US$.
Kendati demikian, dia melihat BI masih bersikap lebih tenang dalam merespons kondisi pelemahan rupiah saat ini, dengan tidak melakukan kenaikan kembali BI Rate, meski dolar telah menembus Rp 16.400.
Sejalan dengan itu, Myrdal mengingatkan risiko tekanan imported inflation yang semakin menguat setelah melihat juga pergerakan harga minyak Brent. Brent telah kembali menembus US$85/barel.
"Kondisi tersebut kami duga karena kebutuhan impor nasional yang tidak setinggi pada bulan April lalu," ungkapnya.
Sementara itu, kebutuhan impor pangan dan bahan bakar minyak saat ini masih tidak setinggi pada periode Maret dan April lalu karena periode peak season dari konsumsi pangan dan bahan bakar minyak yang sudah terlewati. Kondisi ini diperkuat dengan adanya tambahan suplai pangan domestik dari sentra pangan yang mengalami panen raya.
(haa/haa)