Internasional

Perang Baru di Arab Tinggal Sejengkal, Tanda Baru Diberi AS

sef, CNBC Indonesia
26 June 2024 07:00
Asap dan api mengepul menyusul serangan roket dari Lebanon, di tengah permusuhan lintas batas yang sedang berlangsung antara Hizbullah dan pasukan Israel, dekat Kiryat Shmona, Israel, dekat perbatasannya dengan Lebanon, 3 Juni 2024. (REUTERS/Ayal Margolin)
Foto: Asap dan api mengepul menyusul serangan roket dari Lebanon, di tengah permusuhan lintas batas yang sedang berlangsung antara Hizbullah dan pasukan Israel, dekat Kiryat Shmona, Israel, dekat perbatasannya dengan Lebanon, 3 Juni 2024. (REUTERS/AYAL MARGOLIN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang baru terancam pecah di Arab. Di tengah perang Gaza yang masih berkecambuk, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu memberi pernyataan akan memindahkan pasukan ke utara, dekat perbatasan Lebanon, untuk bersiap bertempur melawan Hizbullah yang menguasai Lebanon Selatan.

Militer Amerika Serikat (AS) Pentagon memberi tanda baru isu ini. Karenanya dalam pertemuan dengan Israel, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin memperingatkan Tel Aviv agar tak main-main, guna menghindari "bencana perang" yang lebih luas.

Saat bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, Austin meminta solusi diplomatik dilakukan Israel. Ia menyalahkan Hizbullah sebagai provokator tapi menekankan bahwa perang besar-besaran akan berdampak buruk bagi semua pihak yang terlibat dan memicu konflik regional.

"Diplomasi sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mencegah eskalasi lebih lanjut," tegasnya dimuat Al-Jazeera dan VOA, dikutip Rabu (26/6/2024).

"Jadi kami segera mengupayakan perjanjian diplomatik yang mengembalikan ketenangan abadi di perbatasan utara Israel dan memungkinkan warga sipil kembali dengan selamat ke rumah mereka di kedua sisi perbatasan Israel-Lebanon," tambahnya.

Saat ini pasukan Israel dan Hizbullah memang terlibat baku tembak hampir setiap hari. Eskalasi meningkat sejak awal perang Gaza, di mana Hizbullah menegaskan akan menghentikan serangan jika perang di kantong Palestina itu setop.

Serangan Hizbullah dalam beberapa minggu terakhir bahkan cukup membuat gelisah Israel. Lahan-lahan Israel terbakar terkena roket, di mana warga dievakuasi.

Gallant sendiri sering menyarankan agar Israel segera melancarkan perang besar-besaran ke Hizbullah. Meski membahas soal resolusi politik, diketahui baik Gallant dan Austin juga membahas "kesiapan militer jika skenario perang terjadi".

Hizbullah Lebih Kuat dari Hamas

Mengutip para ahli merujuk laman The Times of Israel, Hizbullah telah secara signifikan memperluas persenjataan dan kemampuannya, termasuk memperoleh pesawat nirawak (drone) bunuh diri yang sulit dilawan oleh Israel. Kelompok itu juga memiliki kemampuan rudal anti-pesawat, dan beragam rudal ahli lainnya, yang berjumlah antara 120.000 dan 200.000.

Meskipun sebagian besar persediaan Hizbullah terdiri dari puluhan ribu rudal terarah- baik jarak pendek maupun jarak jauh- sejak tahun 2006, Hizbullah telah memperoleh ratusan rudal balistik berpemandu, dengan kemampuan untuk menembakkannya dari bunker yang diperkuat dan dari peluncur bergerak

Pengalaman tempur Hizbullah juga menjadi hal lain karena sebagian besar berpengalaman karena konflik di Suriah.

Sebuah proyek penelitian selama tiga tahun yang dilakukan oleh Institut Kontra-Terorisme Universitas Reichman di Israel, yang diselesaikan Oktober 2023 menyimpulkan bahwa Hizbullah dapat menembakkan hingga 3.000 rudal sehari ke Israel. Jumlah itu bahkan dapat dipertahankan hingga tiga minggu.

Tujuan utamanya adalah untuk memaksa runtuhnya pertahanan udara Israel. Mengutip Pusat Studi Strategis dan Internasional, sebuah lembaga pemikir AS, menghancurkan kemampuan roket dan rudal Hizbullah akan memerlukan upaya sangat besar bagi Israel.

"Akan menjadi tugas yang berat bagi pertahanan udara Israel untuk menghadapi persenjataan roket yang tersebar luas yang datang dari utara," kata seorang analis di lembaga think tank di Washington, Seth G Jones.

"Kami menilai setidaknya beberapa baterai Iron Dome akan kewalahan", kata seorang pejabat senior pemerintahan Presiden AS Joe Biden kepada CNN International.

Iran Bergabung?

Sementara itu, kemungkinan masuknya Iran dalam perang ini juga dikatakan Jenderal Angkatan Udara AS Charles Q. Brown. Kepala Staf Gabungan AS itu mengatakan Iran akan lebih cenderung mendukung Hizbullah dibandingkan Hamas di Gaza.

Ini dikatakan Brown saat melakukan perjalanan ke Bostwana dalam pertemuan para menteri Afrika, sebagaimana dimuat The Guardian. Ditegaskannya bantuan Iran akan muncul terutama saat mereka menilai Hizbullah secara signifikan dirugikan dan terancam.

Ramai Negara Evakuasi hingga Wajib Militer Israel

Di sisi lain, sejumlah negara kini mulai mengevakuasi warganya dari Lebanon. Negara itu sendiri merupakan basis kelompok Hizbullah.

Pemerintah Kanada dilaporkan tengah bersiap untuk mengevakuasi 45.000 warganya dari Lebanon. Hal ini dilaporkan Channel 12 Israel yang menyebut telah ada pembicaraan terkait evakuasi ini antara Menteri Luar Negeri Israel Katz dan timpalannya dari Kanada Melanie Joly.

"Ottawa telah mengirim pasukan militer ke wilayah tersebut sebagai persiapan untuk evakuasi terbesar yang pernah kami lakukan," kata media itu dikutip dari Times of Israel.

Meski begitu, sejauh ini, tidak jelas apakah rencana serupa juga dibuat untuk sekitar 35.000 warga Kanada yang tinggal di Israel. Tel Aviv sendiri telah mengevakuasi 60.000 penduduknya yang tinggal di wilayah yang dekat dengan perbatasan Lebanon.

Selain Kanada, Kuwait juga tengah melakukan hal yang sama. Kantor berita resmi Kuwait, KUNA, melaporkan bahwa Kuwait Airways telah mengirimkan armadanya ke Lebanon pada Sabtu (22/6/2024) untuk melakukan evakuasi.

"Ini adalah pesawat pertama yang mengevakuasi warga negara dari Lebanon, karena kekhawatiran akan eskalasi miliaran antara Hizbullah dan Israel meningkat," tulis KUNA, dikutip Al Arabiya.

Kementerian Luar Negeri Kuwait juga menegaskan kembali dalam sebuah pernyataan seruan ke warganya untuk menghindari Lebanon. Mereka juga meminta warga yang tidak memiliki keperluan mendesak untuk pergi ke negara itu.

Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) Israel pada Selasa memutuskan bahwa kelompok Yahudi ultra-Ortodoks harus ikut dimasukkan ke dalam wajib militer. Dalam laporan Reuters, MA Israel mencatat bahwa keputusan ini diambil mengingat Angkatan Bersenjata Israel kewalahan dalam menghadapi perang multi-front dengan Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon.

"Pada puncak perang yang sulit, beban ketidaksetaraan menjadi semakin akut," demikian isi keputusan pengadilan yang diambil dengan suara bulat.

Di Israel, kebanyakan warga Yahudi Israel terikat oleh hukum untuk bertugas di militer sejak usia 18 tahun, selama tiga tahun untuk pria dan dua tahun untuk wanita. Sebanyak 21% anggota minoritas Arab di Israel dan pemuda ultra-Ortodoks dikecualikan dari aturan ini.

Peraturan untuk mengecualikan kelompok ultra-Ortodoks telah menjadi basis dukungan dua partai ultra-Ortodoks kepada Netanyahu. Partai itu menganggap bahwa hal ini tetap menjaga konstituen mereka tetap berada di seminari keagamaan dan menjauh dari kekuatan militer.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siaga Perang Arab Pecah! Jerman-Belanda Warning, 6 Pihak Terlibat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular