Internasional

Internal Israel Memanas Imbas RUU Kontroversial, Warga Yahudi Teriak

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Selasa, 11/06/2024 15:30 WIB
Foto: Pasukan keamanan beroperasi ketika para pria Yahudi Ultra-Ortodoks melakukan protes setelah Mahkamah Agung Israel bersidang untuk membahas petisi guna mengubah kebijakan pemerintah yang memberikan pengecualian kepada orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks dari wajib militer, di tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, dekat dengan Mahkamah Agung Israel. Pengadilan di Yerusalem, 2 Juni 2024. (REUTERS/Ronen Zvulun)

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi di Israel tengah memanas saat Parlemen Israel melanjutkan pembicaraan rancangan undang-undang (RUU) kontroversial tentang wajib militer bagi siswa agama ultra-Ortodoks.

Mengutip Reuters pada Selasa (11/6/2024), RUU wajib militer akan mewajibkan beberapa orang Yahudi ultra-Ortodoks, yang secara tradisional menolak bertugas di angkatan bersenjata, masuk secara bertahap ke dalam militer.

RUU wajib militer ini sendiri masih harus melewati pembacaan lebih lanjut dan sidang komite setelah pemungutan suara oleh parlemen.


RUU ini awalnya diajukan oleh mantan jenderal beraliran tengah Benny Gantz pada tahun 2022 di bawah pemerintahan sebelumnya. Namun, setelah mengundurkan diri dari pemerintahan, ia menentang tindakan tersebut.

Gantz memandang hal ini tidak memadai untuk memenuhi tuntutan personel baru dalam militer mereka.

Selain Gantz, Menteri Pertahanan Yoav Gallant juga memberikan suara menentang RUU tersebut. Ada pula Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, pemimpin salah satu partai pro-pemukim dalam koalisi, yang ikut menolaknya.

"Kita memiliki peluang besar yang tidak boleh dilewatkan. Masyarakat ultra-Ortodoks tidak boleh terpojok," kata Smotrich dalam sebuah pernyataan.

Isu pencabutan beberapa pembatasan wajib militer bagi pria ultra-Ortodoks telah memecah belah selama beberapa dekade di Israel. Dibenci oleh banyak orang Israel sekuler, isu ini menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya sejak dimulainya perang di Gaza, yang menewaskan lebih dari 600 tentara Israel.

"Ada yang mendukungnya saat itu dan menentangnya sekarang karena mereka melihatnya sebagai hal yang salah bagi Israel saat ini, dan ada yang menentangnya saat itu dan akan mendukungnya sekarang karena mereka melihat adanya peluang untuk mengubahnya," kata Assaf Shapira, kepala program reformasi politik di Institut Demokrasi Israel, kepada Reuters.

Di sisi lain, keluarga dari beberapa sandera Gaza masih menuntut tindakan dari pemerintah untuk memulangkan mereka.

Saat parlemen bersiap untuk memberikan suara pada RUU tersebut, terjadi adu pendapat dalam rapat komite keuangan, di mana anggota dari beberapa keluarga sandera menyergap Smotrich dan menuntut pemerintah berbuat lebih banyak untuk membawa pulang para sandera.

Smotrich telah mengesampingkan kesepakatan apa pun dengan Hamas dan telah menentang usulan untuk kesepakatan gencatan senjata yang akan membawa kembali para sandera dengan imbalan tahanan Palestina. Ia menganggap kampanye keluarga tersebut sebagai sesuatu yang sinis.

"Saya tidak akan membahayakan Negara Israel dan rakyatnya," katanya. "Saya tidak akan menghentikan perang sebelum Hamas hancur, karena ini merupakan bahaya eksistensial bagi Israel."


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mau Bangun Kota Kemanusiaan di Gaza, Israel Dikecam Dunia