PDIP Minta Prabowo Stop Tambah Utang! Emang Bahaya? Ini Jawabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Partai politik penguasa parlemen, yakni PDI Perjuangan meminta pemerintah mulai menyetop tambahan utang ke depannya, atau tepatnya saat presiden terpilih Prabowo Subianto menjabat.
Fraksi PDI Perjuangan meminta defisit dalam rancangan awal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dipatok 0% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, APBN mereka anggap harus seimbang antara kebutuhna belanja dengan pendapatan negara, sehingga tak lagi harus utang.
"Kebijakan defisit pada APBN 2025 sebagai APBN transisi diarahkan pada surplus anggaran atau defisit 0%," kata juru bicara fraksi PDIP Edy Wuryanto dalam Sidang Paripurna DPR dengan agenda penyampaian pandangan fraksi atas Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Rancangan APBN 2025 yang dihelat di Gedung DPR RI, dikutip Senin (3/6/2024).
Edy mengatakan fraksinya menganggap pada APBN transisi, tidak sepantasnya pemerintahan lama memberikan beban defisit atas program-program yang belum masuk dalam Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN).
Dalam KEM-PPKF, defisit APBN pada 2025 didesain sebesar 2,45-2,82% terhadap produk domestik bruto (PDB). APBN tahun itu pun telah dirancang dengan defisit yang lebih lebar agar Presiden Terpilih Prabowo Subianto bisa melaksanakan program-program yang menjadi kampanye politiknya saat Pilpres 2024.
Defisit anggaran sebetulnya praktek yang umum di banyak negara. Hampir semua negara di dunia mencatat defisit anggaran karena belanja yang lebih besar dari penerimaan, seperti China dan Amerika Serikat yang merupakan negara ekonomi terbesar dunia pun mencatat defisit anggarannya 5-6% dari PDB.
Namun, memang ada saja beberapa negara yang memilih anggaran negaranya terjaga surplus, seperti anggaran Qatar yang surplus 9,3% dari PDB nya, dan Uni Emirat Arab surplus 3,3%.
Kendati surplus, negara-negara kaya seperti Qatar ataupun Norwegia tetap berhutang melalui penerbitan surat utang. Terutama karena, rating surat utang pemerintah tetap diperlukan sebagai benchmark utang korporasi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menambahkan berdasarkan teori kebijakan fiskal, belanja negara-negara berkembang memang harus didesain lebih besar, sebagai penanda pemerintah ekspansif dalam mendorong aktivitas ekonomi domestik.
Apabila belanja dikurangi, dia khawatir pertumbuhan ekonomi Indonesia justru yang jadi korbannya, karena belanja pemerintah yang menjadi salah satu komponen pendorong pertumbuhan ekonomi harus terhenti hanya demi mengejar anggaran yang tak defisit.
"Menurut teori kebijakan fiskal, belanja pemerintah didorong lebih banyak agar ekonomi lebih ekspansif," kata Esther.
Meski demikian, Esther menilai belanja pemerintah tersebut tetap harus mempertimbangkan sejumlah aspek. Salah satunya adalah belanja harus diarahkan ke belanja pembangunan, bukan pengeluaran rutin supaya utang untuk menutup defisit itu tak sia-sia.
Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Ishak Razak juga mengatakan hal serupa. Ia mengingatkan supaya pemerintah menyisir kembali efektifitas anggaran pada kementerian dan lembaga. Dengan demikian, anggaran dapat diprioritaskan pada mata anggaran yang memberikan dampak luas pada masyarakat.
"Dengan demikian, penyesuaian defisit bukan hanya semata-mata mengurangi utang, tapi agar pendapatan yang diperoleh dari publik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik secara efektif, efisien dan transparan," kata dia.
(haa/haa)