3 Alasan APBN 2025 Mustahil Tanpa Utang Seperti Harapan PDIP

Rosseno Aji Nugroho, CNBC Indonesia
Kamis, 30/05/2024 16:10 WIB
Foto: Prabowo Subianto pada Pelantikan Menteri Kabinet Indoensia Maju, Rabu, 23 Oktober 2019 (REUTERS/Willy Kurniawan)
Dafar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Fraksi PDI Perjuangan meminta rancangan awal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 dibuat mengarah ke defisit 0%.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Paripurna mengenai penyampaian pandangan fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pada Selasa, (28/5/2024).

"Kebijakan defisit pada APBN 2025 sebagai APBN transisi diarahkan pada surplus anggaran atau defisit 0%," kata juru bicara fraksi PDIP Edy Wuryanto dalam rapat tersebut.


PDIP menyatakan kebijakan yang mengarah pada defisit 0% perlu dilakukan di masa transisi antara pemerintahan Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto. PDIP menyarankan belanja negara harus dioptimalkan untuk belanja rutin dan belum dialokasikan untuk belanja modal yang berisikan proyek-proyek yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) maupun rencana pembangunan jangka menengah.

Menanggapi hal tersebut, sejumlah ekonom satu suara. Mereka menilai kebijakan defisit 0% hampir mustahil dilakukan. Berikut ini merupakan alasan yang mereka sampaikan.

Tak Ada Krisis

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Felianty menilai saran yang diberikan oleh PDI Perjuangan itu punya istilah fiscal austerity. Fiscal austerity, kata dia, adalah pendekatan kebijakan anggaran dengan pendekatan pengetatan.

"Itu fiscal austerity, semacam pengencangan ikat pinggang," kata dikutip pada Kamis, (30/5/2024).

Pengetatan anggaran atau austeritas dapat diartikan sebagai rangkaian kebijakan ekonomi dengan tujuan mengurangi defisit anggaran pemerintah. Telisa mengatakan pendekatan kebijakan tersebut biasa diterapkan ketika negara menghadapi krisis. Misalnya krisis finansial ataupun krisis lainnya yang diakibatkan nilai tukar mata uang.

Telisa menilai kecil kemungkinan pemerintahan baru akan menerapkan kebijakan seperti itu. Selain karena tidak adanya krisis, kata dia, pemerintahan baru cenderung menghindari kebijakan yang tidak populer seperti ini.

"Dengan defisit diarahkan menuju 0%, itu dilakukan dengan menaikan pajak atau menurunkan pengeluaran," kata dia.

Telisa mengatakan pemerintahan baru malahan cenderung untuk menambah pengeluaran. Sebab, kata dia, pemerintahan baru biasanya memiliki target melaksanakan program 100 hari kerja dan program unggulan lainnya. "Jadi kecil kemungkinan pemerintahan baru mau untuk melakukan fiscal austerity," katanya.

APBN 'Harus' Defisit

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menuturkan berdasarkan teori kebijakan fiskal, belanja negara memang harus didesain lebih besar. Hal itu, kata dia, agar ekonomi bisa lebih ekspansif. Apabila belanja dikurangi, dia khawatir pertumbuhan ekonomi Indonesia justru yang jadi korbannya.

"Menurut teori kebijakan fiskal, belanja pemerintah didorong lebih banyak agar ekonomi lebih ekspansif," kata Esther.

Meski demikian, Esther menilai belanja pemerintah tersebut tetap harus mempertimbangkan sejumlah aspek. Salah satunya adalah belanja harus diarahkan ke belanja pembangunan, bukan pengeluaran rutin.

"Namun yang harus diperhatikan adalah belanja sebaiknya diarahkan lebih banyak ke belanja pembangunan daripada belanja rutin," kata dia.

Bukan Utang

Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Ishak Razak menilai pengetatan anggaran memang bisa dilakukan. Namun, dia menilai masalah terbesar yang harus diatasi pemerintah adalah menyisir kembali efektifitas anggaran pada kementerian dan lembaga. Dengan demikian, anggaran dapat diprioritaskan pada mata anggaran yang memberikan dampak luas pada masyarakat.

"Seperti meningkatkan kedaulatan, kemandirian, kemajuan ekonomi, serta meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat," kata Ishak.

Ishak menilai saat ini banyak mata anggaran yang tidak jelas manfaatnya. Belum lagi banyaknya anggaran yang tidak efisien, karena korupsi. "Dengan demikian, penyesuaian defisit bukan hanya semata-mata mengurangi utang, tapi agar pendapatan yang diperoleh dari publik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik secara efektif, efisien dan transparan," kata dia.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: APBN Mei 2025 Defisit Rp 21T, Menkeu Klaim Masih Kecil