Internasional

Bukan Tapera, Ini Model Perumahan Korsel Buat Banyak Utang-Bunuh Diri

sef, CNBC Indonesia
28 May 2024 14:00
Ilustrasi properti di Korea. (Dok.Freepik)
Foto: Ilustrasi properti di Korsel (Dok.Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap negara memiliki sistem perumahan yang unik. Tak terkecuali Korea Selatan (Korsel). Salah satunya adalah dengan sistem jeonse.

Intinya penyewa membayar tuan tanah dengan sejumlah DP tertentu sebagai deposit. Biasanya deposit ini sebesar 60%-70% nilai bangunan. Penyewa bisa tinggal di rumah tersebut sampai akhir masa kontrak, tampa perlu repot membayar lagi.

Namun nantinya ketika masa kontrak berakhir pemilik mengembalikan deposit ke penyewa secara penuh. Idenya adalah tuan rumah mendapatkan akses terhadap uang tunai tanpa bunga dan spekulasi sementara penyewa mendapatkan perumahan gratis, dengan properti sebagai jaminan.

Namun sistem ini ternyata menimbulkan banyak masalah. Tipu-tipu pun terjadi di dalamnya.

Salah satu yang tertipu adalah Park Hyeon-su. Ia tinggal di apartemen minim tanpa jenderal di Seoul.

Meski sudah bekerja keras dengan shif ganda dan menambung untuk tinggal di rumah yang lebih bagus, impiannya pupus. Sistem itu telah membuat penipu mengambil uangnya.

Awalnya pria yang bekerja dari pukul 09.00 WIB hingga tengah malam dan menghemat US$ 73.000 (sekitar Rp 1,172 miliar) itu sudah membayar uang jaminan dan ingin pindah. Namun pemilik rumah menghilang dan Park pun diusir tanpa mendapatkan uangnya kembali.

"Bukan hanya uang tunai, tapi seluruh usia saya yang berusia 20-an dan awal 30-an yang dicuri," kata pria 37 tahun itu, dikutip AFP, dikutip Selasa (28/5/2024).

Sebenarnya, proses hukum tengah berlangsung. Tapi sayang, itu pun tak menjamin ia bisa mendapatkan ganti rugi.

"Impian saya untuk memiliki rumah telah sirna, dan saya sudah menyerah untuk berkencan, apalagi menikah atau memiliki anak," ujarnya.

Ia bukanlah korban utama. Ada juga yang bernasib sama Choi Jee-su, 33 tahun.

Ia menggunakan tabungan hidupnya ditambah pinjaman bank untuk pindah ke apartemen jeonse untuk menghindari kehidupan di kamar asrama yang dipenuhi kecoa. Namun apartemennya telah "terjual habis" dan pemiliknya lenyap bersama uang jaminannya.

Ia justru ditinggali utang. Karena untuk jeonse, Choi mengambil pinjaman kartu kredit berbunga tinggi dan menjual sahamnya.

Padahal selama ini, dirinya telah bekerja shift dengan sangat melelahkan di restoran dan hidup dari makanan murah untuk menghemat uang.

Dia menghabiskan waktu berhari-hari membuat makanan lezat untuk pelanggan tetapi untuk dirinya sendiri, bahkan ragu membeli mie instan.

"Saya akhirnya memilih mie kemasan yang lebih murah, dan hanya menangis saat memakannya karena rasanya tidak enak," kata Choi.

Nasib Park dan Choi sebenarnya masih lebih baik. Tak jarang korban penipuan jeonse berakhir bunuh diri.

Para aktivis mengatakan setidaknya delapan korban penipuan jeonse telah bunuh diri. Mereka frustasi karena penipuan yang terjadi.

Menurut aktivis, banyak penyewa mengambil pinjaman bank untuk menutupi deposit jeonse yang sangat besar, dengan niat untuk membayar kembali setelah mereka pindah dan uangnya dikembalikan. Namun setelah mereka ditipu, mereka masih terikat dengan bank.

Merujuk data resmi, setidaknya memang 17.000 orang terkena penipuan jeonse di Korsel. Sekitar 70% di antaranya berusia 20-an hingga 30-an.

Aktivis mengatakan pihak berwenang tidak berbuat banyak untuk membantu para korban atau menghukum para penipu, yang seringkali berhasil menyembunyikan dan menyimpan uang tersebut. Meski, hukuman maksimum bagi pelaku penipuan di Korsel adalah 15 tahun.

Sebenarnya, parlemen Korsel sendiri sudah sejak tahun lalu mengesahkan rancangan undang-undang khusus yang bertujuan membantu para korban. Komisi Jasa Keuangan, semacam OJK setempat, menawarkan pinjaman tanpa bunga yang dapat dilunasi dalam jangka waktu hingga 20 tahun.

Namun korban penipuan jeonse mengatakan bukan membayar kembali pinjaman bank yang dicuri yang mereka butuhkan. Solusi parlemen sama saja memberatkan korban.

"Menyuruh generasi muda menghabiskan 20 tahun ke depan untuk membayar kembali uang yang hilang karena penipuan sama saja dengan menyuruh mereka berhenti hidup," kata Ahn Sang-mi, seorang korban lain.

Para aktivis menyarakan pilihan lainnya. Yakni melakukan rehabilitasi utang, proses serupa dengan kebangkrutan dan menghapus sebagian utang, namun memiliki dampak jangka panjang terhadap nilai kredit dan khususnya merugikan generasi muda.

"Pemerintah tidak boleh menstigmatisasi generasi muda, yang baru memulai kehidupan (dewasa), dengan nilai kredit yang buruk," kata korban penipuan jeonse lain Jang Sun-hoon.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menlu Korsel-AS Ketemu, Bahas Korut Sampai Isu Pemakzulan

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular