
Sejak Awal BPJS Kesehatan 1,2,3 Memang Bakal Diganti KRIS

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai pengganti kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan pada Juni 2025. Dengan penerapan ini, maka tarif tunggal akan diberlakukan.
Adapun, rencana besar ini mulai digaungkan sejak 2020. Saat itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan pemerintah sedang menyiapkan kelas standar untuk peserta program jaminan kesehatan nasional BPJS Kesehatan. Dengan demikian, sistem kelas 1, 2, dan 3 untuk peserta mandiri yang ada saat ini kemungkinan akan digabung menjadi hanya satu kelas.
Anggota DJSN, Muttaqien, mengatakan pemerintah menyiapkan kelas standar agar tercipta kesamaan pelayanan dan tidak membeda-bedakan antar peserta.
Muttaqien menyatakan kebijakan penghapusan kelas akan dirampungkan paling lambat 2021 dan progres saat itu diklaim sudah mencapai 70%.
Penerapan kelas standar saat itu direncanakan akan dibagi ke dalam dua kelas, yakni Kelas A yang diperuntukkan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) dan Kelas B diperuntukkan untuk peserta Non-PBI JKN. Dari penerapan Kelas A dan B tersebut, memiliki 11 kriteria.
Dari ke-11 kriteria tersebut ada dua perbedaan antara Kelas A dan Kelas B. Misalnya, di Kelas A, minimal luas per tempat tidur (dalam meter persegi/m2) adalah 7,2 m2 dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan.
Sementara di Kelas B luas per tempat tidur 10m2, dengan jumlah maksimal tempat 4 tidur per ruangan. Di saat itu, tarif tunggal digembar-gemborkan sebesar Rp 75.000. Lalu, hal ini dibantah oleh DJSN.
Cikal Bakal KRIS
Penerapan kelas standar untuk peserta BPJS Kesehatan ternyata sudah diamanatkan melalui Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak 2004 silam. Hal itu diakui oleh Anggota DJSN Asih Eka Putri.
"Jadi prosesnya sudah 16 tahun kita bertoleransi dengan situasi ini. Mau tidak mau kita memang harus menyelaraskan tujuan kita menyelenggarakan JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] di antara semua pemangku," katanya dalam acara Profit di CNBC Indonesia TV, Kamis (24/9/2020).
Terkait formula iuran BPJS Kesehatan jika kelas standar diterapkan, Ia bilang masih akan dibahas dengan kementerian dan otoritas teknis.
Proses transisi kelas standar pun, diklaim Asih sudah dilakukan sejak 2014. Namun mengenai penetapan bagaimana kriteria kelas standar itu baru dirumuskan sejak dua tahun lalu atau tepatnya tahun 2018.
Pada perjalanannya, penerapan kelas standari ini selalu molor hingga saat ini.
Penolakan KRIS
Pada 2022, BPJS Kesehatan melakukan survei atas rencana pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Survei terhadap 2.000 peserta tersebut menunjukkan, mayoritas peserta menolak penyatuan kelas.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (4/7/2022). Peserta Kelas 1 BPJS Kesehatan, kata Ali, 69% menyatakan menolak jika mendapatkan layanan kesehatan dengan rawat inap kelas standar, begitu juga dengan Kelas 2, dan 3.
"Kelas 3 kalau kita tanya, iurannya naik, kelasnya naik. Mereka jawab nggak mau, mereka tetap dengan Kelas 3 dengan iuran sekian. Itu survei dengan lebih dari 2.000 orang (peserta BPJS Kesehatan)," jelas Ali.
Saat itu, nama kelas standar BPJS Kesehatan telah dikenal dengan sebutan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Diketahui implementasi KRIS JKN telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian aturan lebih lanjut diturunkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Menurut Ali, berdasarkan Perpres 64 Tahun 2020 tersebut, alasan perlu diterapkannya KRIS JKN adalah agar BPJS bisa keluar dari jebakan defisit yang selama ini terus menghantui.
"Defisit lebih dari Rp 50 triliun. Makanya mengakibatkan persoalan rumit. Dibikin Perpres (64 Tahun 2020) dan harus cepat selesai. Dalam Pasal 54A, eksplisit jelas disebutkan, berkelanjutan program pendanaan KRIS agar tidak defisit. Sekarang (BPJS Kesehatan) sudah tidak defisit," ujarnya.
"Sehingga isu ini (KRIS JKN) out of date, atau tidak diperlukan lagi. Makanya kita harus prioritas mana yang jadi masalah dari sisi masyarakat, apa masalah pokok sebenarnya," tegas Ali.
Uji Coba KRIS
Setelah mundur berulang kali, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berharap, KRIS dapat diimplementasikan dengan baik mulai 1 Januari 2023. Sayangnya, rencana mundur hingga saat ini.
Asih menegaskan, pelaksanaan sistem KRIS ini tentu juga harus menunggu rampungnya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018. Kendati begitu ia belum menyebutkan kepastian tanggal rampungnya revisi perpres itu.
Pada Agustus lalu, Asih berujar, revisi Perpres 82/2018 masih menunggu izin prakarsa dari Presiden Joko Widodo. Namun, hingga kini, proses perubahan ketiga dari perpres itu masih dalam tahapan penyiapan perubahan.
"Saat ini sedang disiapkan perubahan ketiga Perpres 82/2018 Tentang JKN. Ketentuan implementasi KRIS JKN akan diatur di dalamnya. Semoga dapat terselesaikan dan diundangkan segera," ujar Asih.
Menurutnya, selain bergantung pada Perpres, pelaksanaan penerapan KRIS juga akan mempertimbangkan hasil evaluasi dari perluasan uji coba KRIS di 10 RS yang telah berlangsung sejak 1 Desember 2022 dan ditargetkan selesai pada 1 Januari 2023.
Anggota DJSN Mickael Bobby Hoelman mengungkapkan kajian terhadap dampak implementasi KRIS terhadap dana jaminan sosial kesehatan ini turut menggunakan medical loss ratio atau rasio klaim serta mengacu pada posisi keuangan BPJS Kesehatan pada Desember 2022 yang surplus Rp 56,5 triliun.
Dari kajian itu dilakukan simulasi menggunakan acuan tarif kelas antara kelas 2 dan kelas 3 saat ini bagi layanan fasilitas kesehatan KRIS, sedangkan faskes non-KRIS masih sesuai kelas peserta.
Hasilnya BPJS Kesehatan pada 2023 masih surplus Rp 42,49 triliun, 2024 surplus Rp 20,79 triliun, baru pada 2025 defisit Rp 12,3 triliun.
Simulasi kedua menggunakan acuan tarif kelas 2 bagi layanan fasilitas kesehatan KRIS, sedangkan fasilitas kesehatan non-KRIS masih sesuai kelas peserta. Hasilnya serupa untuk tahun 2023 dengan surplus Rp 42,49 triliun. Namun pada 2024 hanya menjadi Rp 17,41 triliun dan baru pada 2024 defisit Rp 23,27 triliun.
"Menunjukkan bahwa KRIS JKN dapat diterapkan secara bertahap dengan senantiasa mempertimbangkan kesiapan dan penerimaan terutama dari sisi para peserta," ujar Bobby.
Baru pada 2025, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, DPR dan pemerintah menyepakati penerapan KRIS pada 2025.
Budi Gunadi Sadikin memastikan penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) dimulai tahun ini secara bertahap hingga 2025. Dengan demikian kelas 1,2 dan 3 yang berlaku saat ini akan dihapus.
"Yang jelas itu bertahap sampai akhir 2025," ungkap Budi usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (9/2/2023)
Pemerintah kini tengah mempersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai landasan hukum dari implementasi KRIS. Budi meyakini regulasi tersebut akan selesai dalam waktu dekat.
"Harusnya kan nunggu perpresnya sebenarnya. Tapi perpresnya sedang dalam proses," jelasnya.
Perpres dari Jokowi
Seminggu yang lalu, Presiden Joko Widodo akhirnya merilis aturan penetapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. KRIS resmi akan membuat sistem pengelompokan ruang rawat inap berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang selama ini dikenal di BPJS Kesehatan tidak berlaku lagi.
Berubahnya sistem di BPJS kesehatan itu termuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pemerintah menargetkan sistem KRIS akan mulai berlaku di semua rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS paling lambat 30 Juni 2025. Dengan berlakunya sistem ini, maka semua peserta BPJS akan mendapatkan ruang rawat inap dengan fasilitas yang serupa.
Dikutip dari Perpres 59 tahun 2024, Kelas Rawat Inap Standar didefinisikan sebagai standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh Peserta. Sebagaimana diketahui, BPJS saat ini menerapkan sistem kelas yang terbagi menjadi kelas 1, 2 dan 3. Pembagian itu mengelompokan peserta berdasarkan besaran iuran dan kualitas ruang perawatan yang menjadi haknya.
Sementara dalam sistem KRIS, semua peserta berhak mendapatkan ruang perawatan yang sama dengan standar yang telah diatur pemerintah.
Kriteria ruang perawatan termuat dalam Pasal 46A Perpres 59/2024. Berikut ini merupakan 12 kriteria yang harus dipenuhi pihak rumah sakit untuk bisa merawat pasien BPJS Kesehatan menggunakan sistem KRIS.
a. komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi;
b. ventilasi udara;
c. pencahayaan ruangan;
d. kelengkapan tempat tidur;
e. nakas per tempat tidur;
f. temperatur ruangan;
g. ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi;
h. kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur;
i. tirat/partisi antar tempat tidur;
j. kamar mandi dalam ruangan rawat inap;
k. kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas; dan
l. outlet oksigen.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan Resmi Dihapus, Begini Iuran Terbarunya