
Pasokan Gas Megap-Megap Tapi Harganya Murah, Cuma di RI!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan industri hulu gas nasional kemungkinan akan sulit memenuhi kebutuhan gas bumi domestik. Terutama, untuk sektor industri dalam waktu dua tahun ke depan.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, hal tersebut terjadi karena semakin menurunnya produksi gas nasional, sementara kebutuhan meningkat. Di sisi lain, proyek-proyek migas yang tengah dibangun saat ini baru akan beroperasi setelah 2027 mendatang.
"Perlu kita sadari sampai 2 tahun ke depan 2025-2026 itu kita masih tidak mudah, masih sulit bernapas, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, walaupun pas, walaupun bisa tapi just right pas, tepat kebutuhannya, tidak longgar, setelah 2026 saya kira akan longgar kebutuhan pasokan itu," jelas Tutuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, dikutip Jumat (5/4/2024).
Di sisi lain, pemerintah juga mempunyai kebijakan harga gas "murah" yakni Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk tujuh sektor industri sebesar US$ 6 per MMBTU. Alokasi HGBT untuk industri dialirkan pada 265 perusahaan dengan mengambil porsi 41% dari keseluruhan produksi gas nasional.
"Dengan HGBT itu, yang dapat HGBT itu 41% dari produksi nasional untuk dalam negeri dari total produksi gas 68% sudah masuk ke dalam negeri, DMO kita sudah 68% untuk dalam negeri, untuk ke depan jadi basis itu," ujarnya.
Tutuka mengatakan, masing-masing instansi sejatinya telah melakukan evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu untuk tujuh sektor industri.
Menurut dia, evaluasi pelaksanaan HGBT sesuai kewenangannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Dirjen Gatrik), Kepala BPH Migas, Kepala SKK Migas, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Hasil evaluasi HGBT masing-masing instansi secara umum, Kemenperin telah menyampaikan data evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT melalui surat tanggal 16 Agustus 2023 namun belum disertai dengan hasil evaluasi multiplier effect setiap industri pengguna gas bumi tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT," kata Tutuka.
Selain itu, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan juga telah menyampaikan evaluasi implementasi HGBT di bidang Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum.
"Melalui surat nomor B-2506/TL.04/DJL.3/2023 tanggal 11 Agustus 2023 namun belum disertai dengan hasil evaluasi atas implikasinya terkait penerimaan perpajakan," ujarnya.
Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan hukum ekonomi, ketika suatu barang atau dalam hal ini pasokan gas ketersediaannya makin berkurang, sementara kebutuhan meningkat, tentunya akan membuat harga komoditas tersebut mengalami kenaikan.
Namun, yang terjadi di Indonesia, ketika ketersediaan gas bumi di Indonesia berkurang, justru pemerintah memberikan kebijakan harga gas murah untuk industri sebesar US$ 6 per MMBTU.
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019, Arcandra Tahar, menilai Indonesia perlu belajar dari Jepang.
Sebab, meskipun dapat dikatakan hampir tidak memiliki sumber energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, industri di Jepang bisa dikatakan industri yang cukup kompetitif di dunia.
Bahkan, mereka harus mengimpor gas melalui Liquefied Natural Gas (LNG) yang dibanderol dengan harga pasar.
"Kebayang gak itu Jepang gasnya berasal dari Indonesia dalam bentuk LNG mahal gak? Tapi hasil produknya bisa kompetitif gak? Berarti kita harus belajar dari Jepang. Belajar teknologinya belajar orangnya belajar sistemnya," kata Arcandra kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (05/04/2024).
Menurut Arcandra, pemanfaatan gas menjadi produk yang bernilai tambah, secara keilmuan sejatinya sama. Oleh sebab itu, industri di Indonesia seharusnya lebih kompetitif dibandingkan negara lain yang tidak mempunyai sumber gas bumi.
"Kalau di Jepang misalnya, harga LNG US$ 20 berarti bahan bakunya US$ 20, di Korea US$ 20 ya US$ 20, kalau di Singapura US$ 15 ya US$ 15. Nah kalau kita punya harga khusus berarti kita seharusnya lebih kompetitif. Apalagi kalau gasnya gak perlu diolah jadi LNG dari pipa gas langsung dialirkan," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri belum berdampak terhadap daya saing industri dalam negeri.
Menurut dia, tujuan pemerintah memberikan harga gas murah untuk industri sejatinya cukup bagus. Namun, pemerintah juga perlu berhati-hati dan melihat penerimaan negara yang anjlok akibat kebijakan tersebut.
Komaidi menyebut pemerintah menyampaikan bahwa penurunan PNBP dari gas nantinya akan terkompensasi dari penerimaan pajak di industri penerima harga gas khusus. Namun faktanya, kehilangan penerimaan negara cukup besar dibandingkan manfaat yang diperoleh.
"Memang justifikasinya banyak ini masih dalam periode Covid kemudian mungkin evaluasinya gak bisa apple to apple begitu tetapi faktanya bahwa antara yang dikorbankan pemerintah dalam tanda petik ya artinya potensi penerimaan gas berkurang dengan tambahan pembayaran pajak di sisi Hilir nya atau si penerima harga gas khusus ini belum sepadan," ujar Komaidi.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Serapan Gas Industri Loyo, Siap-Siap Harga Gas US$ 6 Dievaluasi
