Internasional

Arab Saudi Pimpin Komisi Status Perempuan PBB, Lembaga HAM Ragu

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
28 March 2024 16:00
Sebuah bendera Arab Saudi berkibar di atas gedung konsulat di Istanbul pada 17 Oktober 2018. - Konsul Arab Saudi untuk Istanbul Mohammed al-Otaibion pada 16 Oktober 2018 meninggalkan kota Turki menuju Riyadh dengan penerbangan terjadwal, kata laporan, saat Turki bersiap untuk menggeledah kediamannya dalam penyelidikan hilangnya jurnalis Jamal Khashoggi. (OZAN KOSE/AFP via Getty Images)
Foto: Sebuah bendera Arab Saudi berkibar di atas gedung konsulat di Istanbul pada 17 Oktober 2018. (AFP via Getty Images/OZAN KOSE)

Jakarta, CNBC Indonesia - Duta Besar Saudi untuk PBB, Abdulaziz Alwasil, pada Rabu (27/3/2024) terpilih sebagai ketua Komisi Status Perempuan (CSW). Ia terpilih secara aklamasi untuk memimpin lembaga yang juga dinaungi PBB itu.

Alwasil didukung oleh kelompok negara-negara Asia-Pasifik dalam komisi tersebut. Ketika ketua yang akan berhenti, Antonio Manuel Lagdameo, bertanya kepada 45 anggota apakah mereka keberatan, suasana hening di majelis, menandakan semua pihak setuju.

"Saya tidak mendengar keberatan. Sudah diputuskan," kata Lagdameo dikutip The Guardian.

Biasanya suatu negara memegang kursi tersebut selama dua tahun. Namun Lagdameo, yang berasal dari Filipina, mendapat tekanan dari anggota kelompok Asia lainnya untuk membagi masa jabatannya dan menyerahkan jabatan tersebut ke negara lain setelah satu tahun.

Bangladesh diperkirakan akan mengambil alih kepemimpinan tersebut. Namun di akhir proses tersebut, Arab Saudi turun tangan dan melobi demi mendapatkan kursi tersebut, yang secara luas dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan citra kerajaan tersebut.

Kelompok hak asasi manusia dengan cepat menunjukkan ironi bahwa CSW dipimpin oleh negara yang kesenjangan antara hak laki-laki dan perempuan. Beberapa menyebut bahkan di atas kertas, kesenjangan gender sangat lebar dan nyata terjadi di Saudi.

Sherine Tadros, kepala kantor Amnesty International di New York, menyatakan bahwa Arab Saudi akan menjadi ketua pada peringatan 30 tahun deklarasi Beijing, sebuah cetak biru penting untuk memajukan hak-hak perempuan secara global.

"Siapapun yang menjabat sebagai ketua, yang sekarang adalah Arab Saudi, berada dalam posisi kunci untuk mempengaruhi perencanaan, pengambilan keputusan, pengambilan keputusan, dan pandangan ke depan, di tahun yang kritis bagi komisi tersebut," kata Tadros.

"Arab Saudi kini memimpin, namun catatan Arab Saudi sendiri mengenai hak-hak perempuan sangat buruk, dan jauh dari mandat komisi tersebut."

Misi Saudi untuk PBB tidak menanggapi permintaan komentar. Namun para pejabat Saudi menunjuk pada undang-undang "status pribadi" yang ditetapkan pada tahun 2022 sebagai bukti kemajuan dalam hak-hak perempuan.

Namun, undang-undang menetapkan bahwa seorang perempuan harus mendapatkan izin wali laki-laki untuk menikah. Berdasarkan hukum, seorang istri harus menaati suaminya dengan "cara yang wajar", sedangkan nafkah suami bergantung pada "ketaatan" istri.

Penolakan untuk berhubungan seks dengan suaminya, tinggal serumah atau bepergian bersamanya tanpa "alasan yang sah" juga dapat menjadi pembenaran untuk pencabutan dukungan keuangan berdasarkan hukum. Amnesty International menyebut Saudi masih banyak PR dalam merombak kesetaraan.

"Terpilihnya Arab Saudi sebagai ketua Komisi Status Perempuan PBB menunjukkan pengabaian yang mengejutkan terhadap hak-hak perempuan di mana pun," timpal Louis Charbonneau, direktur PBB di Human Rights Watch (HRW).

Charbonneau bahkan menyebut tidak ada gunanya sebuah negara yang masih memenjarakan wanita, seperti Saudi, menjadi wajah forum utama PBB untuk hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.

"Pihak berwenang Saudi harus menunjukkan bahwa kehormatan ini tidak sepenuhnya tidak layak diterima dan segera membebaskan semua pembela hak-hak perempuan yang ditahan, mengakhiri perwalian laki-laki dan menjamin hak penuh perempuan atas kesetaraan dengan laki-laki."

Lebih lanjut, Charbonneau mengatakan HRW mencoba melobi negara-negara lain di antara 45 anggota CSW saat ini, termasuk negara-negara yang memiliki catatan lebih baik mengenai hak-hak perempuan seperti Belanda, Jepang, Portugal dan Swiss.

"Jika mereka semua menimbulkan bau yang cukup besar, hal itu tidak akan terjadi," katanya. "Tapi semua orang diam saja. Seseorang dapat mengadakan pemungutan suara, dan sepertinya tidak ada seorang pun yang ingin melakukan hal itu, dan ini menurut saya konyol."


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Houthi Beri Peringatan ke Arab Saudi, Bakal Menyerang Bila Lakukan Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular