
Siap-Siap Gas Cair (LNG) Jadi Energi Masa Depan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mempunyai potensi gas bumi yang cukup melimpah. Hal tersebut menyusul dengan banyaknya temuan lapangan gas beberapa waktu belakangan ini.
Bahkan, terdapat dua temuan cadangan migas RI yang masuk skala temuan terbesar di dunia pada 2023. Dua temuan tersebut berasal dari Blok North Ganal sumur Geng North-1 di Kalimantan Timur dan sumur eksplorasi Layaran-1 yang berada di Blok South Andaman.
Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki sejumlah proyek gas jumbo. Mulai dari proyek Kilang LNG Tangguh Train-3, yang baru saja diresmikan operasionalnya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 November 2023 lalu.
Kilang LNG Tangguh yang dioperasikan BP Berau Ltd ini terletak di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Proyek ini mulai beroperasi di tahun 2009 dan saat ini terdiri dari fasilitas produksi gas lepas pantai yang memasok tiga Train likuifikasi gas masing-masing sebesar 3,8 juta ton per tahun (million tons per annum/ mtpa).
Berikutnya, yakni proyek Indonesia Deepwater Development (IDD). Proyek IDD sendiri merupakan proyek terintegrasi dari beberapa lapangan dan wilayah kerja di laut dalam Kutai Basin, dengan kedalaman mencapai 1.000-2.000 di bawah permukaan laut.
Adapun proyek IDD senilai US$ 6,98 miliar direncanakan akan beroperasi pada tahun 2027. Saat ini proyek pengembangan IDD dipegang oleh perusahaan asal Italia yakni ENI, selepas Chevron memutuskan untuk hengkang.
Proyek ini memiliki estimasi produksi mencapai 844 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan 27.000 barel per hari (bph). Namun kabar terakhir menyebutkan bahwa SKK Migas berencana tidak lagi menggunakan istilah IDD untuk menggambarkan proyek tersebut.
Selanjutnya, Lapangan Abadi Blok Masela. Wilayah kerja ini memiliki nilai investasi sebesar US$ 19,8 miliar, yang ditargetkan dapat memproduksi sebanyak 1.600 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD serta 35.000 barel minyak per hari.
Semula proyek ini diharapkan bisa beroperasi pada kuartal kedua 2027. Namun konsorsium yang terdiri dari Inpex, Pertamina, dan Petronas telah sepakat jadwal operasi Blok Masela dapat direalisasikan pada 2029.
Dari temuan-temuan dan proyek baru tersebut terlihat bahwa tren monetisasi gas ke depannya yaitu berupa gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG). Terlebih, banyak temuan berada di lepas pantai, bukan lagi di daratan.
Di sisi lain, temuan lapangan gas di Indonesia yang cukup besar tersebut hingga kini beberapa di antaranya masih belum dikembangkan, sehingga belum dapat menggantikan produksi gas yang saat ini kondisinya terus menurun.
Bahkan, beberapa temuan dan proyek gas jumbo tersebut juga membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga gas bisa diproduksikan dan dijual. Kondisi tersebut tak menutup kemungkinan bila nantinya Indonesia butuh mengimpor gas dari luar negeri.
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019, Arcandra Tahar mengatakan, gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) bisa menjadi salah satu solusi apabila terdapat permintaan yang berlebih untuk penggunaan gas. Terutama, apabila produksi gas pipa dalam negeri belum mencukupi.
"Kalau kita kurang, kebutuhan ada, sementara gas dalam negeri belum cukup. Tergantung kebijakan pemerintah apakah impor atau mengoptimalkan produksi yang ada dalam negeri, kalau gak cukup juga ya eksplorasi. Maka eksplorasi digiatkan," kata dia kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (28/3/2024).
Arcandra menjelaskan, gas pipa sendiri merupakan gas bumi yang langsung dialirkan dari lapangan gas setelah proses pemurnian untuk digunakan sebagai bahan bakar maupun bahan baku industri. Sementara LNG sendiri merupakan gas metana yang dicairkan dengan volume 1/600.
"Untuk LNG, karena dia kering di-liquid-kan (dicairkan), jadi kalau dia ditransfer dalam bentuk gas, itu butuh volume yang besar. Biar ada volume mengecil ya di-liquid-kan sampai 1/600, itu LNG," jelasnya.
Mengutip situs migas.esdm.go.id, LNG adalah gas metana dengan komposisi 90% metana (CH4) yang dicairkan pada tekanan atmosferik dan suhu -163 derajat Celsius.
Sebelum proses pencairan, gas harus menjalani proses pemurnian terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan senyawa yang tidak diharapkan seperti CO2, H2S, Hg, H2O dan hidrokarbon berat.
Proses tersebut akan mengurangi volume gas menjadi lebih kecil 600 kali. Penyusutan ini membuat LNG mudah ditransportasikan dan dalam jumlah yang lebih banyak.
LNG ditransportasikan melalui kapal-kapal ke terminal-terminal LNG dan disimpan di tangki dengan tekanan atmosferik. Kemudian, LNG dikonversi kembali menjadi gas dan disalurkan melalui sistem transmisi.
Alhasil, tak heran bila biaya penggunaan LNG bisa lebih mahal dibandingkan hanya menggunakan gas pipa.
"Dari LNG, cost-nya jadi naik, pertama gasnya diubah jadi liquid. Setelah di-liquid-kan disimpan di kapal LNG, diangkut, lalu diubah ke gas lagi, nanti masukan lagi ke pipa, panjang rantainya," paparnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa gas alam cair alias Liquefied Natural Gas (LNG) merupakan sumber energi bersih. Terutama, yang paling cocok dalam menggantikan bahan bakar diesel.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahan bakar LNG mempunyai peran yang cukup penting dalam menyuplai kebutuhan energi di daerah yang belum dilewati gas pipa.
Meski demikian, ia mengakui harga LNG kalah kompetitif dibandingkan harga gas pipa, karena selain adanya biaya pencairan, lalu tambahan biaya transportasi, ada juga biaya regasifikasi.
"Ya susah, kalau (LNG) gas kan dicairin, diangkut, nah itu kan ada ongkosnya, tapi kan kita harus pikirkan satu, security energy," kata Arifin saat ditanya apakah harga LNG akan kompetitif dari gas pipa biasa, saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (8/2/2024).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terobosan Baru! PGN Bakal Berbisnis Pipa Gas Virtual