Harga Gas Murah US$ 6 Belum Dongkrak Industri, Kenapa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri belum berdampak pada berkembangnya industri tersebut, termasuk daya saing industri di dalam negeri.
Menurut dia, tujuan pemerintah memberikan harga gas murah untuk industri sejatinya cukup bagus. Namun, pemerintah juga perlu berhati-hati dan melihat penerimaan negara yang anjlok akibat kebijakan tersebut.
Pemerintah menyampaikan bahwa penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari berkurangnya bagi hasil penjualan gas bagian negara nantinya akan terkompensasi dari peningkatan penerimaan pajak di industri penerima harga gas khusus tersebut. Namun faktanya, negara kehilangan penerimaan negara cukup besar dibandingkan manfaat yang diperoleh.
"Memang justifikasinya banyak, ini masih dalam periode Covid, kemudian mungkin evaluasinya gak bisa apple to apple begitu, tetapi faktanya bahwa antara yang dikorbankan pemerintah dalam tanda petik ya artinya potensi penerimaan gas berkurang dengan tambahan pembayaran pajak di sisi hilirnya atau si penerima harga gas khusus ini belum sepadan," ungkap Komaidi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Rabu (27/3/2024).
Selain itu, ia membeberkan daya saing industri pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor tunggal seperti harga gas. Biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas juga ditentukan oleh 14 faktor lainnya.
"Jadi pemerintah saya kira perlu mengkaji ulang perlu melihat view-nya lebih tinggi lagi karena gas ini di dalam masa transisi perannya sangat signifikan tadi Pak Sugeng menyampaikan dalam aspek keuangan negara tapi di dalam aspek transisi energi ini sangat penting karena gas sebagai jembatan untuk menuju transisi energi," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan belum ada keputusan mengenai kelanjutan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU usai 2024.
Arifin mengungkapkan hal tersebut terjadi lantaran Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berhalangan hadir, dalam Rapat Koordinasi yang membahas mengenai HGBT di Kementerian ESDM hari ini.
"Tadi rapat yang datang cuma dua. Menperin gak datang, ada kesibukan barangkali. Jadi belum selesai," kata dia ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (22/3/2024).
Adapun dari pertemuan yang digelar sekitar pukul 10.00 WIB hingga 11.00 WIB tersebut hanya dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.
Arifin mengakui bahwa saat ini terdapat permintaan perluasan untuk sektor industri penerima insentif HGBT dari Kementerian Perindustrian. Namun demikian, hal tersebut masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.
"Ya kan harus dievaluasi dulu gasnya cukup apa enggak, kemampuan negara juga," kata dia.
(wia)