Nasib Proyek Kebanggaan Jokowi, Sulit Jalan Karena Alasan Ini

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
18 March 2024 10:10
A pile of coal is seen at a warehouse of the Trypillian thermal power plant, owned by Ukrainian state-run energy company Centrenergo, in Kiev region, Ukraine November 23, 2017. Picture taken November 23, 2017. REUTERS/Valentyn Ogirenko
Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan salah satu tantangan yang menghambat Indonesia menuju hilirisasi. Khususnya hilirisasi produk batu bara atau gasifikasi batu bara di dalam negeri.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan salah satu hambatan sulitnya mengadakan nilai tambah melalui hilirisasi batu bara dalam negeri adalah dikarenakan terbatasnya teknologi untuk mengeksekusi program tersebut.

"Peningkatan nilai tambah ini masih berat. Begitu bicara ke nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, ada kelemahan besar, kita tidak punya teknologi, kita membayar terlalu mahal," ujar dia dalam acara Seminar Energy for Prosperity, di Hotel Aryaduta, Jakarta, dikutip Senin (18/3/2024).

Dia menyebutkan bahkan perusahaan batu bara dalam negeri seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang hendak melakukan hilirisasi batu bara dalam negeri terhambat lantaran teknologi yang dibawa oleh sebuah perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products mundur dari proyek hilirisasi kedua perusahaan tersebut.

"Air Products mundur kerjasama PTBA dengan KPC produksi metanol juga mundur. KPC switch jadi ammonia, PTBA cari mitra baru," jelasnya.

Hal itu menjadi bukti bahwa salah satu sebab utama sulitnya hilirisasi batu bara sulit dilakukan di dalam negeri lantaran keterbatasan teknologi.

Adapun, Irwandy mengatakan untuk komoditas tambang lainnya juga menghadapi tantangan yang sama yakni sulitnya teknologi untuk melakukan hilirisasi. Dia mengatakan bahkan teknologi yang tersedia dari perusahaan luar negeri diperlukan investasi yang besar.

"Misalnya nikel semua dari luar negeri teknologinya, 90% RKEF dari China, HPAL juga dari sana untuk baterai. Pertama kali masuk di Indonesia tahun 70-an di INCO itu dari Kanada sampai ssekarang dipakai, lalu ada dari Jepang. Tapi mereka kalah bersaing harga," tandasnya.

Seperti diketahui, program hilirisasi batu bara yang digencarkan Presiden Jokowi hingga kini tak kunjung jalan. Terlebih, ketika perusahaan petrokimia asal AS, yakni Air Products and Chemicals Inc, mundur dari dua proyek gasifikasi batu bara di Indonesia.

Padahal, Presiden Jokowi membanggakan proyek gasifikasi batu bara ini karena bisa menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) nasional, dan pada akhirnya bisa menghemat devisa negara.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS Cabut dari Proyek Kebanggaan Jokowi, China Masuk?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular