Nasib Produksi Minyak RI, Kian Ambles Tiap Tahun

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Jumat, 15/03/2024 11:25 WIB
Foto: Pompa angguk Wilayah Kerja (WK) Rokan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Produksi minyak siap jual atau lifting di Indonesia terus menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan target produksi lifting minyak bumi sebesar 660 ribu barel per hari (bph) pada tahun 2023 tidak tercapai.

Berdasarkan data SKK Migas, lifting minyak 2023 baru mencapai 605,723 ribu barel per hari (bph) atau 91,78% dari target 660 ribu bph. Adapun, untuk 2024 ini target lifting minyak ditetapkan sebesar 635 ribu bph sesuai dengan APBN 2024.

Salah satu penyebab tidak tercapainya target produksi disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari penurunan pengeboran sumur di Pertamina, dikarenakan terdapat isu safety stand down, pengadaan lahan, dan banyaknya gangguan operasional atau unplanned shutdown di beberapa fasilitas produksi.



"Terkait kendala kami laporkan di 2023 secara diagramatis terlihat dari target APBN 660 ribu bph kemudian kita melihat ada teknikal gap yang terjadi dengan masuknya beberapa proyek yang tertunda," kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dalam RDP bersama Komisi VII DPR RI, dikutip Jumat (15/3/2024).

Sementara, Direktur Utama Medco E&P Ronald Gunawan mengaku masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh sejumlah pelaku usaha migas di Indonesia dalam merealisasikan investasinya. Salah satunya seperti permasalahan tumpang tindih lahan migas dengan sektor yang lainnya.

Ronald menilai permasalahan yang dihadapi dalam melakukan kegiatan pengeboran sumur migas cukup kompleks. Khususnya yang berada di wilayah onshore atau darat.




"Jadi mungkin contohnya di Sumatera Selatan kita melihat bahwa, kita mau ngebor tapi kita perlu waktu sampai more than 3 years hanya buat drilling karena kita harus bebasin tanah dan juga ada proses tertentu tanah yang dikuasai oleh industri lain," kata dia dalam acara RDP bersama Komisi VII DPR RI.

Oleh sebab itu, ia pun meminta bantuan kepada Komisi VII DPR RI untuk dapat menyelesaikan persoalan ini. Terlebih persoalan tumpang tindih lahan dengan industri lainnya sudah semakin pelik.

"Semakin susah kita bebasin karena negosiasi yang mungkin sudah tidak normal lagi dari etika bisnis kita. Saya pikir itu yang penting, salah satu yang perlu bantuan dari bapak bapak ibu ibu Komisi VII," ujarnya.

Semula, Ronald menilai iklim investasi hulu migas di Indonesia sudah mulai cukup membaik dalam waktu tiga tahun belakangan ini. Hal tersebut menyusul dengan berbagai macam insentif yang diberikan pemerintah kepada para pelaku usaha.



Selain insentif, pemerintah juga memberikan beberapa kemudahan yang lainnya. Seperti mempercepat persetujuan rencana pengembangan atau biasa disebut Plan of Development (POD) suatu lapangan migas. "Jadi kita bisa maju melakukan proyek itu lebih cepat," katanya.

Tak hanya itu, ia juga memuji hubungan kerja sama antara SKK Migas dengan Kementerian ESDM yang semakin bagus. Sehingga setiap proses keputusan dilakukan secara cepat. "Kebetulan saya cukup aktif di IPA, dan di IPA ada perusahaan perusahan internasional, mereka juga melihat perkembangannya juga bagus," kata dia.

Seperti diketahui, ketergantungan Indonesia akan impor bisa dilihat dari BBM dan LPG. Impor produk BBM Indonesia terus melonjak sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Di sisi lain, produksi minyak mentah dalam negeri terus jeblok.

Impor dari tahun ke tahun


Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tertuang dalam 'Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022', impor produk kilang seperti BBM pada 2022 tercatat mencapai 27,86 juta kilo liter (kl), naik 12,6% dari impor pada 2019 yang tercatat 24,73 juta kl.

Impor tersebut terdiri dari berbagai jenis BBM seperti RON 90, RON 92, RON 95, avtur, avgas, Solar (gasoil), naphtha, HOMC, dan MDF. Adapun impor terbesar adalah BBM jenis RON 90, dibandingkan dengan jumlah impor jenis BBM lainnya.

Impor BBM RON 90 pada 2022 tercatat mencapai 15,11 juta kilo liter (kl), melonjak 86% dari impor pada 2021 yang sebesar 8,14 juta kl. Bila dibandingkan 2019 yang tercatat sebesar 11,08 juta kl, artinya impor BBM RON 90 melonjak 36%.

Produk BBM dengan jumlah impor terbesar kedua yaitu Solar (gasoil) yakni sebesar 5,27 juta kl pada 2022, naik 65% dari 2021 yang sebesar 3,19 juta kl. Pada 2019, impor gasoil tercatat "hanya" 3,87 juta kl.

Sementara itu, impor jenis lain yang umum digunakan oleh masyarakat adalah RON 92 dan 95 masing-masing tercatat sebesar 6,4 juta kl dan 115 ribu kl.

Selain impor produk minyak, Indonesia juga tercatat mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar untuk produksi BBM. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume impor minyak mentah juga terus melonjak 11% menjadi 15,26 juta ton pada 2022 dari 13,78 juta ton pada 2021.

Impor BBM dan minyak mentah yang besar diakibatkan oleh penurunan produksi atau lifting minyak mentah. Realisasi lifting minyak mentah dalam 20 tahun terakhir hampir selalu berada di bawah target. Tercatat sejak 2003 hanya dua kali lifting minyak mencapai targetnya, yaitu pada 2016 dan 2020.

Ambisi besar untuk mencapai lifting minyak sebanyak 1 juta barel per hari (bph) pun bahkan sudah gagal terwujud dalam 17 tahun terakhir. Terakhir kali lifting minyak mencapai 1 juta bph pada 2005, tepatnya sebesar 1,07 juta bph.

Realisasi lifting minyak bahkan merosot tajam dari sebesar 1,037 juta bph pada 2004 menjadi 711,3 ribu bph pada akhir pemerintahannya SBY pada 2013. Pada era Jokowi, lifting minyak anjlok dari 794 ribu bph pada 2014 menjadi 612,3 ribu bph pada 2022.

Bahkan pada tahun ini, lifting minyak hanya ditargetkan sebesar 635 ribu bph pada dalam APBN 2024. Target tersebut semakin menjauh dari ambisi 1 juta bph.


(ven)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Presiden Prabowo Sambut Kedatangan PM Malaysia Anwar Ibrahim