Ekonomi Thailand Kritis, Ada Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Thailand disebut sedang berada dalam "situasi kritis". Bahkan langkah-langkah stimulus mendesak dilakukan termasuk potensi penurunan suku bunga.
Hal ini dikatakan pejabat dari kantor perdana menteri (PM) Thailand, Senin waktu setempat. Negara yang kini dipimipin PM Srettha Thavisin, yang mengambil alih kekuasaan pada Agustus lalu, memang tengah berupaya untuk menghidupkan kembali perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara tersebut, yang telah menderita akibat lemahnya ekspor dan pemulihan yang lambat dari pandemi Covid-19 dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
"Angka menunjukkan kita tidak berada dalam kondisi yang baik," kata kepala staf perdana menteri, Prommin Lertsuridej, dikutip dari Reuters, Selasa (45/3/2024).
Ia menguraikan serangkaian tantangan yang dihadapi negeri itu. Mulai dari rendahnya pemanfaatan kapasitas industri hingga membengkaknya utang rumah tangga.
Prommin, seorang ahli strategi politik veteran, mengatakan ada ruang untuk menurunkan suku bunga. Ini, tegasnya, akan membantu rumah tangga yang kesulitan dengan memberikan lebih banyak uang ke tangan mereka.
"Meski pemerintah tidak akan melakukan intervensi dalam pengambilan keputusan bank sentral," katanya lagi.
Sebelumnya, perekonomian Thailand secara tidak terduga mengalami kontraksi pada kuartal keempat (Q4) tahun 2023. Para pembuat kebijakan telah menurunkan perkiraan pertumbuhan untuk tahun ini, sehingga menambah tekanan pada bank sentral untuk menuruti tuntutan penurunan suku bunga yang hampir setiap hari diajukan oleh perdana menteri.
Output pabrik Thailand pada bulan Januari menyusut selama 16 bulan, dengan produksi otomotif menyusut. Thailand sendiri sebelumnya telah menyetujui insentif bagi perusahaan yang beralih ke kendaraan listrik, termasuk untuk menggaet Tesla.
"Kami melakukan segala yang kami bisa," kata Prommin juga mengacu pada langkah-langkah termasuk pariwisata bebas visa, kebijakan untuk mengatasi utang rumah tangga, dan dukungan untuk sektor pertanian yang penting.
"Janji penting pemilu untuk memberikan 10.000 baht Thailand (sekitar Rp 4.400.000) kepada 50 juta warga Thailand untuk dibelanjakan di komunitas lokal mereka masih dalam proses, dan kemungkinan akan dilaksanakan pada akhir Mei," katanya.
Sebelumnya, Kritikus telah memperingatkan bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah terutama skema pembagian "dompet digital" senilai US$14 miliar. Ini, kata pengamat, mungkin tidak layak secara fiskal dan dapat memicu inflasi.
(sef/sef)