CEO Standard Chartered Blak-blakan soal Masalah Besar China, Apa Itu?
Jakarta, CNBC Indonesia - China saat ini menghadapi defisit kepercayaan akibat perekonomian negara tersebut mengalami transisi besar-besaran, bersamaan dengan meningkatnya kekhawatiran atas krisis properti yang sedang berlangsung. Hal ini disampaikan Bill Winters, CEO Standard Chartered.
"Masalah terbesar China bagi saya adalah kurangnya kepercayaan diri. Investor eksternal kurang percaya pada China dan penabung domestik kurang percaya," kata Winters dalam diskusi panel KTT Pemerintah Dunia di Dubai, seperti dikutip CNBC International, Selasa (13/2/2024).
"Tetapi saya pikir China sedang mengalami transisi besar dari perekonomian lama ke perekonomian baru," tambah Winters.
Meski begitu, Winters masih optimistis terhadap prospek negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini. Menurutnya, setiap masyarakat yang mengalami transisi ekonomi besar-besaran pasti akan mengalami kekacauan dan penderitaan.
"Mereka mencoba mengelola transisi ini tanpa mengganggu sistem keuangan, hal yang belum pernah kami lakukan di Barat," kata CEO tersebut.
"Setiap transisi industri besar selalu mengalami depresi besar, atau krisis keuangan global. Mereka berusaha menghindari hal itu yang berarti hal itu akan terseret keluar. Saya pikir mereka akan melewati bagian belakang dengan baik."
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dalam acara yang sama, menekankan perlunya reformasi dari Beijing untuk membendung tantangan ekonominya.
"Pemberi pinjaman internasional tersebut telah berdiskusi dengan China mengenai masalah struktural jangka panjang yang perlu diatasi oleh negara tersebut," kata Georgieva. "Analisis kami menunjukkan bahwa tanpa reformasi struktural yang mendalam, pertumbuhan di China dapat turun di bawah 4%. Dan itu akan sangat sulit bagi negara ini."
"Kami ingin melihat perekonomian benar-benar bergerak menuju konsumsi domestik, dan mengurangi ketergantungan pada ekspor... namun untuk itu, (mereka membutuhkan) kepercayaan konsumen," ujarnya, senada dengan sentimen Winters mengenai kepercayaan dalam negeri. "Dan itu berarti memperbaiki sektor real estat, menerapkan sistem pensiun, serta perbaikan fundamental ekonomi China dalam jangka panjang, akan diperlukan."
Investor mengamati dengan cermat China, yang gejolak pasar sahamnya, masalah deflasi dan kesengsaraan properti membayangi prospek pertumbuhan global. Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir Desember 2023, permintaan perumahan baru di China akan turun sekitar 50% selama dekade berikutnya.
"Menurunnya permintaan perumahan baru akan mempersulit penyerapan kelebihan persediaan, memperpanjang penyesuaian dalam jangka menengah dan membebani pertumbuhan," kata laporan itu.
Adapun, properti dan industri terkait menyumbang sekitar 25% produk domestik bruto China.
(luc/luc)