
Gara-gara Ini, Produksi Mobil Bermesin BBM Lenyap Hingga 50% di 2040

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan jumlah produksi dari mobil bermesin pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) akan terpangkas hingga 50% di tahun 2040. Hal tersebut menyusul maraknya pengembangan ekosistem mobil listrik global.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusumah, menjelaskan dengan adanya program transisi energi di sektor transportasi, beberapa pabrikan otomotif dunia mulai mengalihkan produksinya dari mobil berbahan bakar minyak (BBM) ke produksi mobil ramah lingkungan.
"Proyeksi-proyeksi yang terkini memperlihatkan bahwa transisi energi ini akhirnya bahwa itu akan membuat kita harus menentukan jenis-jenis kendaraan baru jadi internal combustion engine itu akan berkurang perkiraannya 2040 tinggal 50%. Nah sisanya itu kendaraan-kendaraan yang ramah lingkungan," ujar Agus ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (26/1/2024).
Kendaraan ramah lingkungan tersebut kemunculannya pun bermacam-macam. Mulai dari mobil jenis hybrid yang menggunakan dua sistem penggerak, yaitu mesin bahan bakar bensin dan motor listrik, serta mobil listrik dengan komponen baterai yang beragam seperti Nickel-Mangan-Cobalt (NMC) dan baterai berbasis Lithium Ferro Phosphate (LFP).
"Tapi bayangkan saja kalau sebuah baterai beratnya 300 kg kalikan sekian ratus juta gede banget (kebutuhan nikel). Ingat nikel di tanah itu adanya cuma 1,2 persen yang namanya saprolit 1,7 persen jadi kalau 1 ton tanah hanya segini," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Agus membeberkan ketersediaan dari suatu produk akan menjadi penentu harga. Sementara di dunia saat ini, ketersediaan NMC lebih sedikit dibandingkan dengan LFP. Sehingga, harga NMC otomatis lebih mahal dibandingkan baterai berbasis LFP.
Namun, dari sisi kualitas, menurut Agus baterai berbasis LFP mempunyai kandungan kepadatan energi (energy density) yang lebih rendah daripada baterai berbasis NMC. Agus mencontohkan, apabila baterai berbasis NMC mempunyai kapasitas penyimpanan skala 10, maka untuk LFP hanya 5.
Artinya apabila kepadatan energi dari LFP ingin menyamai NMC, maka kapasitas baterainya harus diperbesar. Sehingga untuk mobil-mobil premium, penggunaan baterai berbasis LFP dinilai kurang cocok.
"Kalau kamu pakai mobil mahal habis beratnya dengan baterai, ya gak cocok. Jadi kalau barang mahal pakai baterai mahal yang enteng jarak masih jauh jadi LFP akan bagus untuk kendaraan yang truk atau bus. Karena dia gak tergantung berat," kata Agus.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jurus RI Menuju Nett Zero Emission di 2060