
Tetangga RI "Korban Baru" Krisis Laut Merah Lagi: Singapura

Jakarta, CNBC Indonesia - Memanasnya eskalasi di Laut Merah telah membawa dampak luas bagi dunia pelayaran global. Ini pun akhirnya berdampak pada pelabuhan-pelabuhan raksasa seperti Singapura.
Di salah satu pelabuhan tersibuk dunia itu, para perusahaan perdagangan menghadapi waktu tunggu kapal yang lebih lama dan harga yang lebih tinggi untuk melakukan pengisian bahan bakar rendah sulfur. Ini disebabkan banyaknya kapal yang berlayar dari Asia menuju Eropa dan Laut Tengah memutuskan mengisi bahan bakar di pelabuhan itu akibat harus berputar lebih jauh mengelilingi Afrika demi menghindari Laut Merah.
Akibatnya, ketersediaan slot untuk tongkang bunker, yang memasok bahan bakar laut ke kapal, semakin menipis. Krisis ini juga diperburuk oleh beberapa operator yang sebelumnya mengubah tongkang rendah sulfur menjadi tongkang dengan sulfur tinggi.
"Permintaan bahan bakar minyak dengan sulfur tinggi telah pulih dalam beberapa tahun terakhir setelah lebih banyak kapal yang dilengkapi scrubber mulai beroperasi," kata sumber industri kepada Reuters, Jumat (26/1/2024).
"Waktu tunggu untuk mendapatkan slot paling awal untuk pemesanan tongkang bahan bakar rendah sulfur (VLSFO) meningkat dua kali lipat menjadi sekitar dua minggu, dibandingkan rata-rata biasanya satu minggu."
Kepala konsultan penyulingan di FGE, Ivan Mathews, mengatakan bahwa jika ketegangan di Laut Merah terus berlanjut, ketatnya pasar bahan bakar kapal di Singapura akan terus berlanjut karena meningkatnya permintaan karena waktu pelayaran yang lebih lama.
"Waktu tunggu yang lebih lama untuk tongkang yang tersedia dan premi pengiriman yang lebih tinggi justru dapat membatasi permintaan bahan bakar bunker Singapura dari tingkat pada bulan Desember karena banyaknya kapal yang mungkin memilih untuk mengisi bahan bakar di pelabuhan Asia lainnya," tambahnya.
Laut Merah sendiri memanas lantaran milisi Yaman Houthi yang kerap menyerang kapal-kapal dagang yang melintasi wilayah itu. Mereka mengklaim aksinya sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza dan milisi Hamas, yang saat ini mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Israel.
Ini pun mempengaruhi Terusan Suez, yang menghubungkan Laut Merah ke Laut Tengah. Badan PBB untuk Perdagangan dan Pengembangan (UNCTAD) mengatakan volume lalu lintas komersial yang melewati Terusan Suez turun 42% dalam dua bulan terakhir.
Secara tahunan, angka kapal kontainer yang melintasi Terusan Suez bahkan telah turun hingga 67%. Padahal sebelumnya, terusan yang melewati wilayah Mesir itu dilewati 20% peti kemas dunia.
Lalu lintas kapal tanker turun 18%. Transit kapal kargo curah yang membawa biji-bijian dan batu bara turun 6% dan untuk pelayaran pengiriman gas benar-benar terhenti.
"Kami sangat prihatin bahwa serangan terhadap pelayaran Laut Merah menambah ketegangan pada perdagangan global, memperburuk gangguan perdagangan (yang sudah ada) karena geopolitik dan perubahan iklim," kata Ketua UNCTAD, Jan Hoffman, kepada wartawan pada 25 Januari .
Hoffman melanjutkan bahwa jalur pelayaran ini merupakan situasi yang sangat krusial bagi perdagangan dunia. Situasi ini menjadi lebih buruk lagi karena jalur perdagangan maritim global lainnya juga menghadapi gangguan, dengan pembatasan transit melalui Laut Hitam sejak serangan Rusia ke Ukraina dua tahun lalu yang menyebabkan harga pangan global melonjak.
Dan kekeringan di Amerika Tengah telah menyebabkan turunnya permukaan air di Terusan Panama. Ini secara signifikan mengurangi jumlah lalu lintas yang dapat melintasi jalur penting tersebut.
"Gangguan yang berkepanjangan pada jalur perdagangan utama akan mengganggu rantai pasokan global, menyebabkan tertundanya pengiriman barang, peningkatan biaya dan potensi inflasi," UNCTAD memperingatkan.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Gaza Makin Ngeri, 2 Tetangga RI Bantu AS Gebuk Houthi
