6 Update Konflik Timur Tengah: Netanyahu Ogah Damai, AS-Iran 'Kritis'
Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi di wilayah Gaza, Palestina, terus meruncing. Ini disebabkan langkah Israel yang menyerang wilayah itu dengan membabi buta di atas dalih bahwa pihaknya sedang menghancurkan milisi Hamas, yang menyerbu Israel Selatan pada tanggal 7 Oktober 2023 lalu.
Serangan Tel Aviv yang dilakukan dalam skala besar itu kemudian memancing milisi-milisi yang pro Hamas di Timur Tengah seperti Houthi dan Hizbullah untuk bergerak. Ini membuat resiko perluasan perang di kawasan terbuka lebar.
Berikut perkembangan terbarunya sebagaimana dihimpun CNBC Indonesia dari berbagai sumber, Senin (22/1/2024):
1. Jumlah pasukan Hamas yang tewas
Serangan Israel di wilayah Gaza masih terus berlangsung. Meski berdalih serangan itu dilakukan untuk menghancurkan milisi Hamas, serbuan Negeri Yahudi ke wilayah kantong Palestina itu telah menimbulkan hingga 25 ribu korban jiwa dari rakyat sipil.
Hal ini pun menimbulkan pertanyaan terkait lalu berapa jumlah kematian pasukan Hama mengingat status kelompok itu sebagai milisi serta Kementerian Kesehatan Gaza yang selalu merilis data korban sipil yang tewas tanpa menyebutkan jumlah kematian dari Hamas.
Meski begitu, sebuah data intelijen Amerika Serikat (AS) mengaku berhasil mengungkap jumlahnya. Dalam laporan Wall Street Journal (WSJ), laporan tersebut mengaku Israel telah membunuh antara 20% dan 30% pejuang Hamas di Gaza sejak perang pecah pada 7 Oktober silam.
Washington memperkirakan Hamas memiliki antara 25.000 dan 30.000 pejuang di Gaza sebelum perang, ditambah ribuan anggota kepolisian dan otoritas lainnya di wilayah tersebut. Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan mereka pada komunikasi yang disadap, pengawasan drone, dan intelijen Israel.
"Selain sekitar 5.000 hingga 9.000 militan yang tewas, 10.500 hingga 11.700 pejuang Hamas lainnya terluka. Banyak dari pejuang Hamas tersebut dapat kembali berperang," kata seorang pejabat AS kepada WSJ yang dikutip Russia Today.
"Hamas, yang telah memerintah Gaza sejak tahun 2007, juga mempertahankan kekuatan untuk terus menyerang Israel. Kelompok tersebut saat ini sedang berusaha membangun kembali kepolisiannya."
Perkiraan Israel sendiri menyebutkan jumlah awal pejuang Hamas lebih tinggi, yaitu 30.000 atau lebih. Sumber di Pasukan Pertahanan Israel sejauh ini dilaporkan telah membunuh 9.000 selama perang ditambah 1.000 selama serangan yang mendahuluinya.
"Serangan melukai lebih dari 16.000 militan Palestina, begitu pula klaim mereka mengenai keseriusan luka-luka tersebut. Setengah dari mereka yang terluka tidak akan berperang lagi," kata seorang pejabat senior militer Israel.
2. Netanyahu ogah damai
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menolak rencana kesepakatan damai terbaru di Gaza, Palestina. Ia menegaskan tak akan menerima persyaratan yang diajukan Hamas untuk mengakhiri perang dan membebaskan sandera, termasuk penarikan total Israel dan membiarkan Hamas berkuasa di Gaza.
"Sebagai imbalan atas pembebasan sandera kami, Hamas menuntut diakhirinya perang, penarikan pasukan kami dari Gaza, pembebasan semua pembunuh dan pemerkosa ... Dan membiarkan Hamas tetap utuh," klaim Netanyahu dalam sebuah pernyataan.
"Saya langsung menolak syarat penyerahan monster Hamas," katanya seperti dikutip Reuters.
Hal ini langsung mendapat reaksi pejabat senior Hamas. Sami Abu Zuhri mengatakan bahwa penolakan Netanyahu untuk mengakhiri serangan militer di Gaza berarti tidak ada peluang bagi kembalinya para tawanan Israel.
Berdasarkan kesepakatan yang ditengahi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS) pada akhir November 2023, 100 lebih dari sekitar 240 sandera akan dibebaskan dengan imbalan pembebasan 240 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Sejak perjanjian itu berakhir, Netanyahu menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menjamin pembebasan 136 sandera yang masih disandera.
Sementara itu, Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang Israel semakin menuntut Netanyahu. Mereka mengungkit pernyataannya yang sempat berujar "tidak akan meninggalkan warga sipil, tentara, dan orang lain yang diculik dalam bencana Oktober".
"Kita harus memajukan kesepakatan sekarang," katanya forum tersebut.
"Jika perdana menteri memutuskan untuk mengorbankan para sandera, dia harus menunjukkan kepemimpinannya dan secara jujur menyatakan posisinya kepada masyarakat Israel," tambah forum itu lagi.
3. Iran panas, AS terseret
Keadaan di wilayah Timur Tengah (Timteng) terus memanas. Terbaru, kelompok bersenjata yang didukung pro-Teheran telah menargetkan pasukan Amerika Serikat (AS) di Irak, yang berbatasan langsung dengan Iran.
Komando Pusat AS (CENTCOM) pada hari Sabtu (20/1/2024) mengatakan serangan menargerkan Pangkalan Udara Al Assad di Irak Barat. Serangan menyebabkan satu korban warga Irak dan kemungkinan seorang lagi warga Amerika.
"Sebagian besar proyektil berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara pangkalan tersebut, namun yang lain berdampak pada pangkalan tersebut", kata pernyataan itu dikutip Al Jazeera.
Serangan terhadap pasukan AS di Irak dan Suriah meningkat sejak serangan militer Israel pada 7 Oktober ke Gaza, Palestina, untuk menyerang Hamas.. Israel diketahui didukung militer oleh Washington.
Sejak melancarkan serangannya di Jalur Gaza, Israel kemudian memperluas serangannya dengan menargetkan kelompok bersenjata yang terkait dengan Iran di Suriah dan Lebanon. Tel Aviv menganggap kelompok-kelompok tersebut menimbulkan bahaya karena bersekutu dengan Hamas.
Sementara itu, secara spesifik, serangan ke Pangkalan Udara Al Assad ini terjadi beberapa jam setelah Teheran bersumpah akan membalas dendam. Ini disebabkan serangan mematikan Israel terhadap gedung yang menampung Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) di, Damaskus Suriah.
4. Korban baru konflik Laut Merah
Eskalasi di Timur Tengah yang diakibatkan konflik bersenjata antara Israel dan Palestina di Gaza terus menimbulkan efek global. Pasalnya, perang keduanya telah membuat seluruh Timur Tengah, yang merupakan kawasan vital global, bergejolak.
Kelompok Houthi di Yaman baru-baru ini telah melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang terafiliasi atau terkait dengan Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap Hamas dan Gaza. Ini memicu gangguan di perairan itu dan memaksa banyak kapal memutari Benua Afrika untuk mencapai Laut Tengah dan Eropa.
Ini pun akhirnya membuat gejolak perdagangan dan industri. Impor penting dari Asia ke Eropa mulai dari suku cadang mobil dan peralatan teknik hingga bahan kimia dan mainan saat ini membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai karena pengirim kontainer telah mengalihkan kapal di sekitar Afrika.
Ekonomi Jerman, yang terbesar di Eropa, tak luput dari dampak gangguan ini. Meskipun industri Jerman sudah terbiasa menghadapi gangguan pasokan akibat pandemi dan perang Ukraina, dampak berkurangnya lalu lintas melalui arteri perdagangan mulai terlihat.
Pabrik baru Tesla di Berlin misalnya memutuskan untuk menangguhkan beberapa produksi karena kekurangan komponen. Ini disebabkan bergantungnya raksasa otomotif itu dengan komponen dari Asia, yang biasanya dikirim melalui Laut Merah dan Terusan Suez.
Selain otomotif, industri kimia juga terdampak. Perusahaan kimia Gechem misalnya, mengaku menurunkan produksi bahan kimia pencuci piring dan tablet toilet karena tidak dapat memperoleh cukup trinatrium sitrat serta asam sulfamik dan asam sitrat dari Asia.
"Departemen pengadaan saya saat ini bekerja tiga kali lebih keras untuk mendapatkan sesuatu," kata Martina Nighswonger, CEO dan pemilik Gechem GmbH & Co KG.
Oleh karena itu, perusahaan itu sedang meninjau sistem kerja tiga shiftnya. Nighswonger menambahkan bahwa dampak buruk dari keterbatasan transportasi dapat tetap menjadi masalah setidaknya pada paruh pertama tahun 2024.
"Jika kita mendapatkan tiga muatan truk, bukan enam, setiap pelanggan hanya mendapat sebagian dari jumlah pesanan mereka, tapi setidaknya semua orang mendapat sesuatu," tambahnya.
5. Eropa ngamuk ke Israel
Beberapa Menteri Luar Negeri Eropa melontarkan kritik yang ditujukan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas penolakan Israel terhadap solusi dua negara, yang memberikan hak kebebasan bagi Palestina.
Berbicara menjelang pertemuan para menteri luar negeri Uni Eropa di Brussels pada hari Senin, Menteri Luar Negeri Irlandia Michael Martin mengatakan komentar Netanyahu "tidak dapat diterima" dan "tidak memberikan kontribusi apa pun terhadap prospek perdamaian."
Netanyahu mengatakan keinginannya untuk mengontrol keamanan seluruh wilayah barat Yordania bertentangan dengan keberadaan negara Palestina. Namun Martin mengatakan hasil ini akan membahayakan keamanan regional.
"Solusi dua negara adalah jaminan keamanan tertinggi bagi Israel dan warga negara Israel, serta bagi warga Palestina dalam kaitannya dengan prospek masa depan untuk hidup berdampingan secara harmonis," kata Martin.
Menteri Luar Negeri Latvia Krišjānis Kariņš menyebut pernyataan Netanyahu "mengecewakan."
"Namun terlepas dari pernyataan tersebut, dari pihak Eropa, kita perlu mendorong ke arah ini. Ini adalah satu-satunya cara untuk perdamaian dan kita semua membutuhkan perdamaian di Timur Tengah," kata Kariņš saat tiba di pertemuan yang sama.
6. Korban jiwa Gaza
Jumlah korban jiwa sipil di Gaza telah mencapai 25.295 orang sejak dimulainya perang Israel-Hamas. Selain itu, data Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan ada 63.000 orang terluka.
Militer Israel mengatakan pada hari Minggu bahwa aktivitas militer di Gaza terus berlanjut, dengan "puluhan teroris telah dilenyapkan dan sejumlah besar senjata telah ditemukan."
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada hari Minggu bahwa dia tidak akan menerima permintaan Hamas untuk mengakhiri perang dengan imbalan pembebasan sandera yang ditahan di Gaza.
(luc/luc)