Bisnis Bar-Karaoke Masih Rugi Bisa Bebas Pajak Hiburan, Ini Caranya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) memberikan ruang bagi pengusaha atau pelaku bisnis karaoke hingga diskotek mendapatkan kelonggaran tidak dikenakan tarif pajak 40%-75%.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, ruang itu ditetapkan dalam Pasal 101 yang mengamanatkan pemerintah daerah memberikan insentif fiskal bagi pengusaha yang kondisi bisnisnya tengah sulit.
"Jadi kalau ada pelaku usaha merasa keberatan, merasa belum pulih usahanya, pelaku usaha mikro, kecil, menegah, itu bisa dapat," kata Lydia saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Dalam Pasal 101 UU HKPD disebutkan bahwa gubernur atau bupati, maupun walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya dalam rangka mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.
Insentif fiskal itu dapat berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau bahkan penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan sanksinya.
Insentif fiskal ini dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi
Selain itu, pertimbangan kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
Juga bisa dengan pertimbangan untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
"Tapi harus dilihat dulu laporan keuangannya, disampaikan ke pemda untuk minta fasilitas dari pemda. Namun jika kepala daaerah merasa kondisi sosial ekonominya masih butuh dorongan maka insentif fiskal ini bisa diberi secara massal," ucap Lydia.
Pasal 6 ayat 2 UU HKPD bahkan menyebutkan jenis pajak seperti pajak hiburan dapat tidak dipungut oleh, dalam hal potensinya kurang memadai dan/atau Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.
"Boleh tidak memungut pajak bahkan di UU HKPD ada ruang boleh tidak memungut pajak. Tapi daerah juga harus hati-hati karena dalam penyusunan laporan keuangannya di mana di situ juga melaporkan tentang pendapatan dan belanja, bagaimana progres pemungutan pendapatannya, tentu harus ada justifikasi," ucap Lydia.
"Tapi pasti akan ditanya oleh auditor kenapa kok yang ini tidak dipungut, 'tidak potensial', hitungan tidak potensialnya seperti apa, dipersilakan saja, silakan digunakan jika tidak potensial," tegasnya.
Ketentuan ini menurut Lydia diberikan ruang bagi UU HKPD karena prinsipnya untuk memberikan ruang kepada daerah untuk mengurus secara mandiri fiskalnya dengan skema local taxing power. Sambil menetapkan batasan supaya tidak ada skema race to the bottom tarif pajak untuk sektor bisnis yang harus dikendalikan sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT).
Dalam Pasal 58 UU HKPD disebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
"Karena kan kepala daerah yang tahu kondisi sosial ekonomi daerahnya masing-masing," tutur Lydia.
(haa/haa)