Tim Prabowo Mulai Ragu Ekonomi RI Bisa Tumbuh 7%

Jakarta, CNBC Indonesia - Tim Kampanye Nasional (TKN) calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memperkirakan Indonesia ke depan tak akan lagi bisa tumbuh tinggi hingga 7%.
"Pertumbuhan kita mungkin tidak akan terlalu tinggi ke depannya," kata Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Eddy Soeparno dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/1/2024).
Eddy mengatakan, pertumbuhan ekonomi tinggi hingga di atas 7%, yakni 7,5% hanya terjadi pada saat melejitnya harga-harga komoditas ekspor andalan Indonesia, seperti pada era 1980-an terjadi saat terjadi periode oil boom.
Setelah itu, Eddy menganggap, pertumbuhan ekonomi menyusut pada tahun 1990-an ke level 6,5% karena komoditas sudah melandai harganya, seiring terjadinya industrialisasi di Indonesia dan deregulasi. Kondisi ini pun berlanjut saat ini.
"Sekarang setelah masa reformasi itu hanya 5% ke depannya saya kira, hanya 5%, pertama dengan kondisi geopolitik yang ada," ucap Eddy.
Oleh sebab itu, Eddy mengatakan, fokus strategi pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan ialah mendorong pendapatan negara lebih tinggi untuk terus melanjutkan agenda pembangunan di tengah stagnannya laju pertumbuhan ekonomi. Di samping efisiensi anggaran akan ditempuh.
Strategi peningkatan pendapatan yang gencar ia suarakan ialah dengan memperkuat kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, seiring dengan hadirnya Badan Penerimaan Negara (BPN). Strategi ini menurutnya bisa mendongkrak rasio pajak atau tax ratio 0,6-0,8% per tahun dari yang saat ini 10,21%.
"Jadi mau tidak mau yang kita harus genjot sekarang adalah bagaimana pendapatan negara bisa meningkat dan itu akan dilakukan Pak Prabowo dan Mas Gibran," kata Eddy.
Sementara itu, untuk strategi efisiensi anggaran ialah dengan menekan subsidi yang besar dalam APBN namun terus menerus tidak tepat sasaran. Ia menyebutkan di antaranya adalah subsidi Pertalite senilai Rp 137 triliun dan subsidi LPG Rp 93 triliun.
"Subsidi kita itu masih terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Ini salah satu yang akan kita sisir ke depan untuk mendapat efisiensi APBN ke depan agar kita mampu untuk kemudian kita berselancar di antara kondisi ekonomi yang mungkin ke depannya challenging," tutur Eddy
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kemenkeu: Belum Ada Pembahasan Subsidi Pertamax
