Bisnis Biasa, Target 1 Juta Barel Minyak RI Cuma Tinggal Mimpi!

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Kamis, 11/01/2024 14:40 WIB
Foto: Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia memiliki target bisa memproduksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.

Namun demikian, target tersebut tampak semakin berat untuk dijangkau. Pasalnya, realisasi produksi minyak dan gas bumi terus menunjukkan tren penurunan tiap tahun.

Oleh karena itu, untuk bisa tetap mewujudkan target produksi migas tersebut, pemerintah dan pelaku usaha dinilai perlu melakukan aksi di luar bisnis biasanya (business as usual).


Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto.

Menurut Djoko, untuk mencapai target produksi minyak dan gas pada 2030 tersebut tidak terlepas dari empat faktor. Mulai dari faktor business as usual, eksplorasi, reserve to production (R to P), dan penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR). Sementara, strategi yang baru dimaksimalkan saat ini adalah business as usual.

"Sebetulnya untuk menaikkan produksi minyak nasional yang sudah dicanangkan oleh SKK Migas dan pemerintah 1 juta barel (per hari) di tahun 2030 itu kan ada empat, yang pertama adalah business as usual, kemudian eksplorasi, kemudian R to P dan EOR. Nah, Kebanyakan yang dilakukan adalah business as usual, ini tidak bisa menaikkan produksi kalau hanya ini yang dilakukan," jelas Djoko dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/01/2024).

Djoko mengatakan, cukup sulit menaikkan produksi jika hanya mengandalkan pada pendekatan business as usual. Pasalnya, pada saat produksi tahap pertama atau premier recovery hanya bisa dieksploitasi maksimal 30% dari temuan minyak yang ada di reservoir.

"Setelah itu tekanan habis, maka yang harus dilakukan adalah produksi tahap kedua atau secondary recovery yaitu dengan waterflood ataupun tekanan buatan dengan gas didorong itu minyaknya ke permukaan, nah itu pun maksimum bisa menambah 20%, jadi total 50%. Jadi 50% itu harus diangkat dengan namanya teknologi EOR yaitu produksi tahap ketiga," tuturnya.

Kemudian, reserve to production (R to P), jadi lapangan-lapangan yang sudah ditemukan apabila tidak segera diproduksikan juga tidak akan menaikkan produksi. Namun kendalanya memang berkutat pada masalah keekonomian.

"Baik EOR maupun R to P ini perlu diberikan insentif ya, misalnya split seperti gas. Negara udah lah nggak dapat apa-apa yang penting harganya bisa US$ 6 per MMBTU di konsumen, sama minyak udah lah negara nggak dapat apa-apa, tetapi hanya dapat dari royalti atau FTP kalau di pertambangan tuh namanya royalti kalau di minyak tuh FTP dan plus pajak," kata Djoko.

Perlu diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat produksi minyak siap jual atau lifting minyak Indonesia "hanya" mencapai 607 ribu barel per hari (bph) pada 2023. Realisasi tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan sebesar 660 ribu bph.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tak hanya target lifting minyak yang meleset, tapi juga lifting gas yang hanya 964 ribu barrels oil equivalent per day (BOEPD) pada 2023. Angka itu di bawah target sebesar 1,1 juta BOEPD.

"Lifting minyak dan gas semua di bawah asumsi 2023 maupun realisasi 2022. Jadi kalau lihat lifting minyak 607 ribu barel lebih rendah dari asumsi 660 ribu bph dan realisasi 612 ribu bph (sepanjang 2022). Lifting gas 964 ribu BOEPD, lebih rendah dari asumsi 1,1 juta BOEPD," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, dikutip Rabu (02/01/2024).


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bahlil Ingatkan Indonesia Jangan Kena Kutukan Sumber Daya Alam