
Pertumbuhan Ekonomi RI 7% Butuh Rp2.000 T, Uangnya dari Mana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 pada Juni lalu. RPJPN ini memuat cita-cita luhur Indonesia untuk keluar dari jerat negara menengah alias middle income trap.
Untuk itu, Indonesia perlu mengubah pendekatan dalam membangun masa depan, dari reformatif menjadi transformatif, melalui 3 area perubahan, yakni transformasi ekonomi, sosial, dan tata kelola.
Di area transformasi ekonomi, pertumbuhan sebesar 5% yang saat ini telah digapai, ternyata harus ditingkatkan. Dengan skenario RPJPN, Indonesia membutuhkan rata-rata pertumbuhan sebesar 6% agar tahun 2041 Indonesia dapat keluar middle income trap. Sedangkan dengan skenario sangat optimis, rata-rata pertumbuhan sebesar 7% agar tahun 2038 Indonesia dapat keluar middle income trap.
Di tengah tahun politik, RPJPN ini menjadi sorotan. Para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) harus menyamakan visi misinya dengan dokumen ini. Ketiga pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka; Ganjar Pranowo - Mahfud MD; dan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar, telah menyasar pertumbuhan di 6%-7%.
Meskipun sempurna di atas kertas, tetapi target ini tentunya tidak mudah dalam implementasinya. Mantan Menteri Keuangan yang juga merupakan ekonom senior Indonesia Chatib Basri ikut menyoroti hal ini.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih terbebani dengan incremental capital output ratio (ICOR) yang tinggi, yakni tambahan investasi yang dibutuhkan untuk 1% pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi. Pertumbuhan ekonomi RI pun kini stagnan di level kisaran 5%.
ICOR mencerminkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Nilai ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output.
Semakin besar nilai koefisien ICOR, semakin tidak efisien perekonomian pada periode waktu tertentu. Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia tinggi mulai dari sarana infrastrukur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, hingga tingginya biaya logistik.
Level ICOR Indonesia saat ini berada pada angka 6,8. Artinya 1% pertumbuhan ekonomi membutuhkan tambahan rasio investasi terhadap PDB sebesar 6,8. Dengan demikian, kebutuhan investasi terhadap PDB harus semakin tinggi untuk mendorong 1% pertumbuhan ekonomi.
"Jadi, jika kita ingin tumbuh 6 sampai dengan 7 persen, maka kita membutuhkan investasi terhadap PDB antara 41% sampai dengan 47%. Atau di dalam nominal, jika PDB harga berlaku kita adalah Rp 19.500 triliun, kita membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 780 triliun jika ingin tumbuh 6%, atau Rp 1.950 triliun jika ingin tumbuh 7%," tegas Chatib.
Dengan kebutuhan investasi yang besar antara Rp 780 triliun - Rp 1.950 triliun untuk menaikkan 1%-2% pertumbuhan ekonomi sebelum 2045, Chatib menyatakan Indonesia juga dihadapkan dengan rendahnya tabungan domestik bruto terhadap PDB.
"Persoalannya adalah tabungan domestik kita saat ini, rasio dari tabungan domestik bruto terhadap PDB kita itu adalah 37%. Di sini ada gap di mana tabungan kita, tabungan domestik kita lebih kecil dari kadar kebutuhan pembiayaan investasi," ucapnya.
Alhasil, rendahnya porsi tabungan domestik bruto terhadap PDB itu membuat Indonesia mengalami kesulitan pendanaan. Ini kemudian terefleksi dari transaksi berjalan yang kembali defisit pada kuartal II-2023. Tak heran, volatilitas ekonomi mulai terjadi. Pasalnya, penopang transaksi berjalan masih didominasi oleh investasi portofolio.
"Jika defisit di dalam transaksi berjalan ini lebih dari 3% dan dibiayai oleh portfolio, setiap kali ada shock, maka uang itu bisa pulang kembali ke negaranya. Akibatnya pasar keuangan terganggu, nilai tukar terganggu, dan pemerintah harus menerapkan stabilitas ekonomi kembali," ungkap Chatib.
Tiga Cara
Komisaris Utama PT Bank Mandiri Tbk. Chatib Basri mengungkapkan setidaknya ada tiga cara yang bisa ditempuh pemerintah mendatang. Pertama, adalah menaikkan tabungan domestik bruto dengan meningkatkan rasio pajak terhadap PDB.
"Yang pertama adalah karena savings-nya lebih kecil dari investment, maka kita perlu menaikkan savings. Caranya adalah dengan menaikkan savings, meningkatkan tax ratio terhadap GDP, artinya peningkatan penerimaan pajak melalui administrative reform," tutur Chatib.
Kedua, dia melanjutkan, peningkatan produktivitas domestik, untuk menurunkan angka ICOR yang masih tinggi. Peningkatan produktivitas ini bisa dilakukan dengan cara efisiensi perekonomian, seperti memperbaiki kualitas SDM, hingga tata kelola pemerintahan.
"Artinya untuk output yang sama dibutuhkan biaya yang lebih rendah. Dengan kata lain kita bicara mengenai efisiensi di sini. Caranya dengan memperbaiki kualitas human capital, dengan terus melanjutkan program infrastruktur, dan perbaikan di dalam tata kelola pemerintahan," ungkapnya.
Terakhir adalah memperbesar aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Dengan demikian, iklim investasi di Indonesia harus dijaga supaya investor menanamkan modalnya di dalam negeri untuk membuka lapangan kerja di dalam negeri dan menyerap tenaga kerja domestik.
ICOR 'Bocor'
Perihal ICOR tampaknya telah dipahami oleh para capres dan cawapres. Anies Baswedan menjelaskan nilai ICOR perlu diturunkan dengan mengefisienkan proyek-proyek, harmonisasi antara pemerintah dan swasta, serta menghindari duplikasi program.
"Dari sisi pengeluaran itu efisiensikan proyek-proyek. Ini harapannya menurunkan ICOR kita," tutur Anies, dalam acara Sarasehan 100 Ekonom, Rabu (8/11/2023).
Dalam visi, misi & program mereka, pasangan Anies-Muhaimin Iskandar menargetkan untuk menurunkan ICOR menjadi 5% pada 2025-2029. Menurut Ganjar, nilai ICOR seharusnya bisa turun menjadi 4% untuk membuat ekonomi RI lebih efisien.
Mantan Gubernur Jawa Tengah menjelaskan salah satu upaya untuk menekan ICOR adalah dengan menggandeng industri lokal dan global. Kerja sama tersebut diharapkan bisa menekan biaya produksi, meningkatkan kemampuan riset, serta memudahkan pemasok.
"Kalau investasi masuk tapi ICOR kita masih 7 atau 6% itu inefisiensi masih terjadi di mana-mana. Harapannya ICOR bisa 4%," tutur Ganjar. Sementara itu, Prabowo-Gibran diketahui pernah menyinggung soal ICOR tapi tak menargetkan level spesifik. Dari ketiganya, bisa disimpulkan belum ada rencana aksi yang taktis dan rinci. Tak pelak, ini akan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi capres dan cawapres jika kelak terpilih.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ganjar-Mahfud Punya Mesin Kuat untuk Ekonomi RI, Apa Tuh?
