
Waspada! Ada Tanda-tanda Baru Ekonomi RI Lesu

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2023 tercatat melambat, menjadi 4,94% secara tahunan (yoy). Kinerja ekonomi tersebut berada di bawah kinerja pertumbuhan di atas 5% selama tujuh kuartal berturut-turut hingga kuartal II-2023 sebesar 5,17%.
Perlambatan ekonomi domestik salah satunya disebabkan karena daya beli masyarakat yang mulai tertekan. Adapun tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2023 hanya sebesar 5,06% dari kuartal II yang mampu tumbuh hingga 5,22%.
Pola pertumbuhan ini serupa dengan tahun lalu yang pada kuartal III-2022 pertumbuhan konsumsi masyarakat turun ke level 5,39% dari kuartal sebelumnya di level 5,51%, demikian juga pada 2021 dari 5,96% menjadi 1,02%.
Mantan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengatakan tekanan daya beli terhadap kelas menengah ke bawah itu disebabkan tekanan inflasi bahan pangan atau volatile food yang terus meninggi saat ini akibat efek berkepanjangan El-Nino, dan masuknya masa tanam di Indonesia.
Kondisi ini menurutnya menjadi salah satu indikator tertekannya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah karena porsi belanja mereka terbesar ada pada pangan ketimbang aktivitas lain.
Tertekannya daya beli ini bisa dilihat dari penerimaan PPN pemerintah. Per kuartal III-2023, PPN dalam negeri mengalami kontraksi sebesar 2,3%. Kontraksi berlanjut pada Oktober 2023. Saat itu, PPN mengalami kontraksi 2,2%. Namun, jika dilihat secara keseluruhan, PPN & PPnBM per Oktober 2023 mencapai Rp 599,18 triliun, tumbuh 5,4% secara tahunan (yoy).
Kementerian Keuangan berdalih penurunan PPN disebabkan oleh hilangnya pembayaran kompensasi BBM pada bulan Oktober 2023. Tanpa kompensasi BBM, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa posisi PPN dalam negeri masih positif. Kendati demikian, kontraksi PPN dalam negeri ini telah terjadi sejak pertengahan tahun. Pada kuartal II-2023, PPN dalam negeri sudah mengalami kontraksi 4,2%.
Pelemahan ekonomi ini diperkirakan akan berlanjut pada kuartal IV-2023. Hal ini seiring dengan berbagai faktor yang mempengaruhi ekonomi domestik, a.l. kenaikan suku bunga acuan, serta terbatasnya hari libur di akhir tahun.
Ekonom senior yang juga merupakan mantan menteri keuangan Chatib Basri sebelumnya juga telah memperkirakan dengan tekanan suku bunga acuan BI di level 6% pada 19 Oktober 2023 memang berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dia mengatakan, kenaikan suku bunga acuan tentu akan mengerek bunga kredit masyarakat. Membuat beban pengeluaran atau belanja semakin tinggi di tengah stagnannya pendapatan masyarakat. Oleh sebab itu, implikasi lainnya adalah peningkatan utang atau perlambatan konsumsi pada kuartal IV.
"Pasti lebih mahal. Sementara wallet kamu kan tetap, duit tabungan tetap. Kalau beban dari household-nya naik, maka akibatnya apa, konsumsinya akan slow down," kata Chatib .
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad melihat adanya kencenderungan perlambatan ekonomi pada kuartal IV-2023. Kendati demikian, dia menilai perlambatannya tidak akan drastis.
"Ada perlambatan di kuartal IV, tetapi tidak drastis," tegasnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (28/11/2023).
Adapun, dia melihat konsumsi akan tumbuh pada kuartal IV karena adanya faktor Natal dan Tahun Baru 2024. Namun, pertumbuhannya tidak akan signifikan jika dibandingkan Lebaran. Hal ini, kata Tauhid, disebabkan oleh periode libur yang pendek, yakni sekitar 4 hari. Sementara itu, saat Lebaran lalu, periode liburnya bisa mencapai 1 minggu.
Kondisi ini akan mempengaruhi sektor ritel, makanan, minuman, perhotelan, logistik hingga transportasi. "Mereka tetap tumbuh, tetapi tidak sebesar masa Lebaran," paparnya.
Selain itu, kinerja perdagangan juga lesu. Ini dipengaruhi oleh efek China. Taufid mengungkapkan default yang dialami sektor properti memicu pertumbuhan ekonomi China berada di bawah 5% atau diperkirakan sekitar 4,9% pada tahun ini. Efek penurunan ini, akan membuat warga China mengerem impornya, termasuk impor dari Indonesia.
"China ini berdampak besar terhadap Indonesia, pertumbuhan ekonomi China yang turun bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia," ujarnya.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengungkapkan adanya kekhawatiran perlambatan ekonomi mungkin akan terus berlanjut setelah kuartal ini akan berlanjut pada tahun depan, terutama kuartal I dan II.
Hal ini didasari oleh belum kuatnya belanja pemerintah. Dari catatan Satria dan Tim Bahana, belanja kementerian yang hanya tumbuh sebesar 1,9%, terseret oleh penurunan belanja peralatan dan bantuan sosial. Kementerian Sosial melaporkan realisasi anggarannya turun sebesar 23,6% secara tahunan (yoy).
Secara keseluruhan, belanja pemerintah menyusut 4,7% yoy pada Oktober 2023, menjadi Rp2.240 triliun di bulan Oktober. Hal ini disebabkan oleh tingginya realisasi subsidi energi pada tahun. Padahal, pengeluaran pemerintah Indonesia dapat mempengaruhi konsumsi rumah tangga dan investasi. Dia juga melihat adanya risiko ketegangan politik jelang Pilpres 2024.
"Pasar mengharapkan pasokan uang yang lebih tinggi dari pemilu, (tetapi) pada kenyataannya meningkatnya ketegangan politik mungkin membuat para pejabat enggan mempercepat proyek mereka," kata Satria dan tim dalam laporannya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan optimisme sektor retail akhir tahun ini lantaran sejumlah indikator ekonomi yang positif serta pesta demokrasi yang berjalan ini akan meningkatkan konsumsi masyarakat.
"Pertumbuhan ritel saat ini kita masih ada optimisme, berkaitan sepanjang tahun ini kita ketahui inflasi terjaga, patokannya di inflasi bulan Oktober kemarin 2,56%, kita punya indeks penjualan riil, indeks kepercayaan konsumen masih terjaga dengan baik," kata Roy kepada CNBC Indonesia.
Meski positif, Roy menegaskan tantangan pertama dari kondusifitas ketika kampanye seperti kemacetan, hiruk pikuk masyarakat, dan lain-lain bisa menjadi tantangan terutama pada konsumen berpendapatan menengah ke atas yang punya buying power tinggi, yang kedua dari aksi boikot yang merajalela akibat memanasnya perang di Timur Tengah.
"Kondusifitas dari kampanye kita harapkan biar masyarakat tidak khawatir untuk berbelanja, Mulai kampanye kan 28 November, kemacetan, hiruk pikuk pesta demokrasi, kita berharap tidak menurunkan animo masyarakat khususnya menengah ke atas yang punya buying power, kalo yang menengah ke bawah tergantung BLT, subsidi-nya. dan lainnya" tegas Roy.
Terkait aksi boikot, Roy menjelaskan jika hanya berlangsung jangka pendek seperti satu sampai dua minggu harusnya tak akan berdampak signifikan. Akan tetapi, jika ini berlarut-larut sampai akhir Desember ditambah perang yang tak diketahui kapan selesainya tentu akan sangat berdampak pada ketahanan bisnis retail.
"Kemudian faktor yang mempengaruhi adalah aksi boikot, kita tidak tahu hanya jangka pendek kalau hanya dua minggu tidak signifikan, tapi akan signifikan jika berlanjut sampai Desember, karena kita tidak tahu selesainya kapan gejolak di Timur Tengah" kata Roy.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dompet Orang RI Tipis, Kompetisi Bisnis Ketat & Ekonomi Loyo
