Eks Menkeu Ungkap Alasan BI Tahan Suku Bunga 6%
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menilai ada sejumlah alasan di balik keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di 6%.
Dia mengatakan BI tengah mencoba menyeimbangkan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi di sisa 2023 sembari menyiapkan landasan pertumbuhan ekonomi di tahun depan.
"Saya lihat keputusan BI itu mencoba menyeimbangkan upaya untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di sisa waktu di tahun 2023 ini dan juga menyiapkan landasan pertumbuhan ekonomi di tahun depan, dan di sisi lain tetap menjaga agar inflasi dalam sasaran," kata dia kepada CNBC Indonesia, Jumat, (24/11/2023)
Sebelumnya, bank sentral kembali mempertahankan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate, sebagai hasil rapat dewan gubernur pada 22-23 November 2023. BI rate dipertahankan di level 6%, sama seperti level saat kenaikan bulan lalu sebesar 25 basis points (bps) pada 19 Oktober 2023.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini tetap konsisten dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pencegahan untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation. Dengan demikian diharapkan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024.
Bambang mengatakan untuk menjaga inflasi berada pada sasaran, pemerintah perlu mewaspadai kenaikan harga akibat barang impor dan pangan. Menurut dia, volatile food atau harga pangan bergejolak saat ini sangat berpengaruh dan berada di level cukup tinggi.
"Harga beras ataupun komoditas lainnya akan sangat mempengaruhi inflasi dan memang betul untuk inflasi harga pangan bergejolak angkanya cukup besar," ungkap Bambang.
Dia mengatakan pemerintah juga harus memperhatikan inflasi untuk harga yang diatur pemerintah, seperti harga minyak internasional. Dia mengatakan beruntung konflik Israel-Hamas tidak merambat menjadi konflik regional antara negara Arab melawan Israel.
Sebab, apabila konflik itu melebar menjadi konflik regional, maka krisis minyak yang menyebabkan harganya meroket bisa saja terjadi. "Dari situ saya yakin BI sudah perhitungkan segala dan mengkalkulasi Federal Reserve tidak dalam posisi agresif meningkatkan suku bunga," katanya.
(haa/haa)