
Belanja Fiskal Telat, Pertumbuhan Ekonomi 2023 Bisa Gagal 5%

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi gagal tumbuh di level 5% pada 2023. Kondisi ini dipicu oleh lemahnya daya beli masyarakat saat ini, dan tak tertolong oleh dukungan fiskal yang baru dikeluarkan pemerintah secara jor-joran pada akhir tahun.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Ia menilai kondisi itu akan membuat pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun ini hanya akan bertengger di level 4,9%, lebih rendah dari proyeksi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di level 5,04%.
"Timingnya itu terlambat, sisa dua bulan baru. Jadi terlambat, harusnya sudah terbaca dari tengah tahun, ini akan turun, ya sekarang sudah terlambat," kata Tauhid kepada CNBC Indonesia, Jumat (17/11/2023).
Tauhid menganggap, kebijakan pemerintah untuk mendukung daya beli, yakni paket kebijakan yang terdiri dari penebalan bansos beras dan sembako, bantuan langsung tunai El-Nino, percepatan penyaluran KUR, hingga insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk sektor properti tak akan mendorong masyarakat belanja pada akhir tahun.
Penyebabnya, masyarakat secara umum, khususnya kalangan menengah ke atas yang tercakup dalam paket kebijakan itu, memiliki tren perencanaan belanja yang biasanya sudah dilakukan sejak pertengahan tahun. Maka, ketika dukungan daya beli diberikan pemerintah pada akhir tahun tak akan cepat direspons mereka.
Apalagi, ia melanjutkan, laju pertumbuhan sektor properti selama tiga kuartal berturut-turut pun telah tumbuh jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi rata-rata, yakni hanya di kisaran 2%. Maka, ketika sinyal pelemahan itu terjadi, seharusnya sudah diberikan insentif sejak pertengahan tahun.
"Jadi orang kan melakukan banyak rencana kredit dan segala macamnya itu awal tahun sehingga pengaruh ekonominya besar. Paling enggak sebelum kuartal II harusnya sudah terbaca, jadi faktornya itu," ucap Tauhid.
Sementara itu, bagi kalangan menengah ke bawah yang disadar dengan kebijakan penebalan bansos dan BLT pun menurutnya tak akan banyak terpengaruh, karena dari sisi nominalnya jauh lebih rendah ketimbang tekanan inflasi yang mulai naik. Terutama inflasi bahan pangan bergejolak.
Sejak Agustus 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi volitile food sudah mulai merangkak naik ke level 2,46% secara tahunan atau year on year (yoy), lalu ke level 3,62% pada September 2023, dan meleseat ke level 5,54% pada Oktober 2023, jauh di atas inflasi umum di level 2,56%.
"Besarannya enggak signifikan karena yang disasar masyarakat kelas atas, yang kelas menengah ke bawah masih kena daya beli, enggak bisa, enggak ngaruh yang tambahan-tambahan bansos dan lain-lain, cuma berapa sih itu," ungkapnya.
Tekanan daya beli yang dihadapi masyarakat pun sebetulnya telah diakui pemerintah tengah terjadi, tercermin dari revisi target penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023.
Target penerimaan PPN Dalam Negeri atau PPN DN turun menjadi Rp 438,79 triliun dari sebelumnya Rp 475,37 triliun dalam Perpres No. 130/2022. Ketika target itu diturunkan, karena adanya kebijakan PPN DTP, maka ada sinyal yang dimunculkan pemerintah bahwa daya beli masyarakat tengah lemah, akibat konsumsi tak akan banyak terjadi yang bisa mendorong penerimaan PPN.
"Kondisi itu kemungkinan memang untuk memberikan insentif untuk konsumsi dalam negeri yg pertumbuhan saat ini sangat lambat," ucap Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal.
"Ketika target PPN DN turun, konsumsi dan negeri sebagai basis PPN juga turun sehingga daya beli masyarakat diproyeksikan turun," ucap pakar pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menambahkan.
Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2023 hanya sebesar 5,06% dari kuartal II yang mampu tumbuh hingga 5,22%. Pola pertumbuhan ini serupa dengan tahun lalu yang pada kuartal III-2022 pertumbuhan konsumsi masyarakat turun ke level 5,39% dari kuartal sebelumnya di level 5,51%, demikian juga pada 2021 dari 5,96% menjadi 1,02%.
Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan tekanan daya beli terhadap kelas menengah ke bawah itu disebabkan tekanan inflasi bahan pangan atau volitile food yang terus meninggi saat ini akibat efek berkepanjangan El-Nino, dan masuknya masa tanam di Indonesia.
"Masyarakat miskin bawah itu konsumsinya itu antar 60%-63% dari incomenya untuk konsumsi pangan. Kalau inflasinya menghit pangan, pasti presentasenya naik, sehingga terjadi penurunan daya belinya. Jadi penurunan demandnya bukan karena faktor hari raya dan libur panjang, ini yang harus kita cermati," ucap Anny.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Insentif Rumah Gratis PPN Kurang 'Ampuh' Dorong Ekonomi RI
