Visi Pertahanan Para Calon Presiden dan Realitas Fiskal

Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
13 November 2023 11:25
Infografis, KOALISI TERKINI PARTAI PENDUKUNG CAPRES 2024
Foto: Ilustrasi Prabowo Subianto (kiri), Anies Baswedan (tengah), dan Ganjar Pranowo (kanan). (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Walaupun 2024 merupakan tahun terakhir implementasi MEF 2010-2024, kondisi saat ini menunjukkan bahwa akan dimulainya kampanye pemilu, termasuk pemilihan presiden, berdampak pada rencana pengadaan sistem senjata. Sejumlah rencana pengadaan utama yang telah mendapatkan Penerbitan Sumber Pembiayaan (PSP) kontraknya belum ditandatangani, seperti program kapal selam diesel elektrik di mana Naval Group menawarkan Scorpene Evolved sebagai solusi bagi Indonesia.

Begitu pula dengan rencana akuisisi jet tempur F-15EX dari Amerika Serikat yang statusnya masih menantikan PSP dari Menteri Keuangan. Nampaknya aktivitas pengadaan baru akan berjalan lancar kembali tahun depan setelah pemilu selesai.

Sementara itu, para calon presiden mulai mengkampanyekan program-program yang akan mereka laksanakan bila terpilih sebagai orang nomor satu di Indonesia. Memperhatikan secara seksama visi para calon presiden di sektor pertahanan, tidak ada hal baru yang patut untuk mendapatkan perhatian khusus. Sebab isu-isu yang diangkat dalam visi mereka beserta solusi yang ditawarkan pun bersifat normatif.

Semua calon presiden boleh memiliki visi tentang pertahanan yang hendak mereka wujudkan saat terpilih sebagai orang nomor satu di negeri ini, akan tetapi sebagus apapun visi tersebut tidak akan terwujud tanpa political will yang kuat menyangkut alokasi anggaran.

Isu anggaran menjadi hal kritis sebab para kandidat presiden mempunyai pula visi di sektor-sektor lain yang juga memerlukan anggaran guna mewujudkannya. Ditinjau dari besaran APBN, sejak TA 2023 nilai total APBN telah mencapai Rp 2,2 kuadriliun yang dialokasikan untuk 11 fungsi yang berbeda.

Belanja pemerintah menurut fungsi terbagi atas belanja pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan ekonomi kreatif, pendidikan dan perlindungan sosial. Kalau ditinjau berdasarkan fungsi, belanja pertahanan dalam APBN dari 2016 hingga 2023 tidak pernah menduduki posisi lima besar.

Penting untuk dicatat bahwa belanja fungsi pertahanan terbagi atas tiga Kementerian dan Lembaga, yaitu Kementerian Pertahanan, Dewan Ketahanan Nasional dan Lembaga Ketahanan Nasional. Namun alokasi anggaran untuk Dewan Ketahanan Nasional dan Lembaga Ketahanan Nasional sangat kecil dan tidak mencapai Rp.500 milyar bila digabungkan.

Dengan kata lain, Kementerian Pertahanan tetap merupakan penerima terbesar alokasi anggaran untuk fungsi pertahanan dari APBN. Besarnya alokasi APBN bagi Kementerian Pertahanan seringkali memunculkan misleading bagi kelompok awam sebab terdapat persepsi alokasi tersebut mayoritas untuk pengadaan sistem senjata.

Apapun visi para calon presiden tentang sektor pertahanan, alokasi anggaran pertahanan akan sangat ditentukan oleh bagaimana kinerja ekonomi Indonesia minimal hingga 2029. Mengutip laporan LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terbilang stagnan dan tak pernah melampaui 5 persen.

Padahal 10 tahun lalu saat menjadi kandidat presiden, Joko Widodo menjanjikan pertumbuhan ekonomi negeri ini meroket menjadi 7 persen. Pertanyaannya, apakah ekonomi Indonesia memiliki peluang tumbuh minimal 6 persen antara 2025-2029?

Selain faktor eksternal seperti resiko geopolitik dengan segala implikasinya, ekonomi Indonesia ke depan masih harus berhadapan dengan isu de-industrialisasi dini, di mana kontribusi industri manufaktur terus menurun sejak 10 tahun lalu. Pada 2014 kontribusi industri manufaktur terhadap GDP adalah 21,26 persen, sedangkan pada 2022 turun menjadi 18,34 persen.

Terdapat relasi antara pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan dengan de-industrialisasi dini yang dialami oleh Indonesia. Padahal sektor manufaktur merupakan salah satu pilar bagi suatu negara untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, sebab tidak ada ekonomi digital tanpa kehadiran industri manufaktur.

Apabila antara 2025-2029 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rata-rata 5 persen, maka ruang fiskal bagi peningkatan anggaran pertahanan tidak akan jauh berbeda dengan sekarang. Menurut proyeksi Janes, anggaran pertahanan Indonesia hingga 2030 hanya akan berada pada kisaran US$9 milyar per tahun.

Saat ini, anggaran pertahanan Indonesia berada pada kisaran US$8 milyar per tahun. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada tahun-tahun mendatang, sulit untuk meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan tanpa harus mengurangi belanja pemerintah pada fungsi-fungsi non pertahanan.

Dengan alokasi anggaran pertahanan dalam bentuk Rupiah Murni tidak akan jauh berbeda nilainya dengan sekarang, dapat diprediksi bahwa Indonesia masih akan tetap menjadikan pembiayaan Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebagai andalan untuk pengadaan sistem senjata utama. Pertanyaannya adalah apakah pada periode 2025-2029 presiden terpilih akan memberikan alokasi PLN yang cukup fantastis seperti periode 2020-2024?

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh bagaimana kebijakan presiden terpilih tentang utang luar negeri, apakah hendak menurunkan debt-to-GDP ratio yang saat ini berkisar 39,48 persen ke level 2014, yaitu 24,88 persen atau tidak? Suatu hal yang pasti, kemandirian Indonesia dalam bidang industri pertahanan hingga 2029 adalah sebuah mimpi daripada realita, sehingga impor mesin perang menggunakan PLN adalah pilihan tidak terhindarkan.

Selama ini, alokasi anggaran pertahanan adalah belanja pegawai sekitar 60 persen, belanja modal kurang lebih 30 persen dan belanja barang kira-kira 10 persen. Alokasi belanja modal termasuk untuk pengadaan sistem senjata, pembayaran PLN, dana Rupiah Murni Pendamping dan operasi dan pemeliharaan.

Dengan porsi belanja modal hanya 30 persen dan harus dibagi ke dalam berbagai kegiatan, sangat wajar apabila akuisisi senjata mengandalkan PLN dan juga Pinjaman Dalam Negeri untuk produk-produk tertentu.

Apakah ada kandidat presiden yang akan melakukan perubahan porsi alokasi pos belanja anggaran pertahanan? Sebagai contoh, apakah ada calon presiden yang mempunyai visi melakukan restrukturisasi organisasi TNI menjadi lebih ramping dibandingkan sekarang?

Apakah ada yang berani meniru kebijakan Presiden Soeharto pada 1984 yang melakukan reorganisasi ABRI dengan menghapus sejumlah satuan yang berimplikasi pada berkurangnya jumlah perwira tinggi? Perampingan organisasi TNI akan memberikan implikasi langsung pada berkurangnya besaran pos belanja pegawai dan dapat dialihkan pada pos belanja modal.

Menyangkut kebijakan tentang industri pertahanan, presiden terpilih harus meneruskan kebijakan penguasaan teknologi maju, termasuk lewat kegiatan transfer teknologi dalam pengadaan sistem senjata dari luar negeri. Indonesia masih memerlukan bantuan asing untuk menguasai berbagai teknologi maju di bidang pertahanan.

Upaya pemerintahan saat ini untuk mentransformasi belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan perlu diteruskan dengan pertimbangan bahwa transformasi tersebut memerlukan waktu agar terwujud. Pada akhirnya, setelah 20 Oktober 2024 presiden terpilih harus realistis dengan ruang fiskal pemerintah yang tersedia untuk mewujudkan program-program yang tercantum dalam manifesto kampanye.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lagi-lagi Prabowo Dipanggil Jokowi ke Istana, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular